Bogor (ANTARA News) - Sekitar 100 warga muslim Kota Bogor Jawa Barat menggelar Shalat Gerhana atau Shalat Kusufain, yang dilaksanakan di Masjid Al Furqon Jalan Merdeka, Rabu malam.

Shalat gerhana dipimpin oleh Imam dan Khatib Prof. Didin Saefudin Buchari, dan diikuti oleh warga Muhammadiyah, jamaah Masjid Alfurqon, dan warga sekitar.

"Shalat ini diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukur terhadap kuasa Allah dengan adanya fenomena alam gerhana ini," kata Prof Didin Saefudin yang juga Ketua Muhammadiyah Kota Bogor.

Shalat Gerhana dilaksanakan menyikapi fenomena alam gerhana bulan total yang diperkirakan bisa teramati dari wilayah Indonesia dari pukul 15.14 hingga 20.35 WIB.

Ketua MUI Bidang Hubungan Internasional sekaligus Pengurus Pusat PP Muhamadiyah, KH Muhyidin Junaedi menjelaskan, Shalat Gerhana hukumnya Sunat Muakat.

Shalat tersebut berjumlah dua rakaat dengan rukuk sebanyak empat kali.

Keutamaan melaksanakan Shalat Gerhana, lanjut KH Muhyidin adalah dapat mewaspadai diri kita dan sekaligus Kemaha besaran Allah bahwa kebesaran tata surya sudah diatur, bukan terjadi karena masalah mistis.

"Jadi tata surya itu sudah diatur oleh Allah, di dunia tidak ada yang tiba-tiba, semua atas ciptaan Allah," kata KH Muhyidin.

KH Muhyidin menceritakan sejarah pelaksanaan Shalat Gerhana terjadi baik pra Islam maupun setelah Islam datang.

Dijelaskannya, Gerhana di dunia ada dua macam yakni gerhana matahari terjadi di siang hari, gerhana bulan terjadi di malam hari, biasanya menjelang terbenam matahari.

Di zaman Rasulullah SAW, lanjut Muhyidin terjadi setiap tahun ada 2-3 kali dan seterusnya, sebelum datangnya Islam.

Kepercayaan terhadap gerhana diinisiasi oleh Qurais yang mempercayai Tuhan itu memberikan tanda-tanda bencana dengan terjadinya bencana.

"Jadi pada saat gerhana terjadi, kaum Qurays keluar dari rumah, memukul peralatan yang beri peringatan, seperti ketontangan, mengabarkan kepada yang lainnya agar keluar dari rumah," kata Muhyidin.

Saat Islam datang, lanjut Muhyidin, gerhana terjadi setelah Putra Pertama Nabi Muhammad SAW meninggal dunia.

Lalu masyarakat muslim mengartikan bahwa gerhana sebagai bukti alampun berduka atas kematian putra Rasulullah. Keyakinan inipun mematah kepercayaan pra Islam.

Sejalan dengan itu, kepercayaan akan gerhana baik pada masa pra Islam dan pasca Islam masih membaur.

Menyikapi hal itu, lalu Rasullullah mengumpulkan para sahabat dan umat, dan memberitahukan bahwa tidak ada kaitan gerhana dengan bencana.

"Rasul menjelaskan, bahwa gerhana itu hanya tanda-tanda kebesaraan Allah yang bisa dibuktikan dengan ilmu astronomi," kata Muhyidin.

Muhyidin menjelaskan, di dalam Islam yang ingin disampaikan Nabi Muhammad adalah sesungguhnya gerhana terjadi karena kehendak Allah, karena itu kehendak Allah jadi harus mensyukurinnya.

"Mensyukurinya dengan adanya gerhanan, dengan melakukan shalat, bertakbir, berdoa, bersedekah," kata Muhyidin.

Muhyidin menjelaskan, kenapa ibadah sedakah ditaeoh terakhir? Karena bisa menghalau berbagai macam penyakit ujian.

"Jadi bagaimana korelasi pemahaman pasca Islam dan pra Islam, dikaitkan dengan ilmu modren tentang ilmu astronomi. Dalam ilmu astronomi sesungguhnya peredaran bulan dan bumi sudah diatur sedemikian rupa, ilmuan geologi telah meneliti di dasar laut ada lempengan, apabila terjadi pergerakan antara dua lempengan akan terjadi gempa, ini bisa dikaitkan terjadi karena izin Allah. Karena ini kekuasaan Allah bahwa alam ikut bertasbih," kata Muhyidin.

Tanggal 8 Oktober menjadi sangat spesial karena terjadi fenomena alam gerhana bulan total sehingga bulan menjadi merah darah atau dikenal dengan "blood moon".

Blood moon ini dapat terjadi saat timbul gerhana bulan total dimana ketika itu matahari, bulan dan bumi membentuk satu garis lurus dan bumi menghalangi seluruh cahaya matahari yang menuju ke permukaannya.

Fenomena ini dapat dapat disaksikan oleh masyarakat Indonesia bagian Timur. Salah satu daerah yang melihat fenomena langka ini di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Warna melihat bulan berwarna merah darah pada pukul 17.30 Wita.

(KR-LR/F006)

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014