Iklan rokok bergambar itu tujuan utamanya adalah untuk mencegah munculnya perokok pemula. Dulu pesan-pesan itu tidak ada tapi sekarang sudah ada, termasuk peringatan tulisan seperti `merokok membunuhmu`.
Jakarta (ANTARA News) - Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau Kartono Muhammad mengatakan iklan rokok bergambar seram yang telah disematkan di bungkus rokok belum dapat dinilai efektivitasnya dalam waktu dekat.

"Sekitar satu sampai sepuluh tahun baru bisa dinilai keefektivitasannya dalam mencegah perokok pemula, karena memang itu tujuan utamanya," kata Kartono di kantor PB Ikatan Dokter Indonesia, Menteng, Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan sejauh ini iklan rokok bergambar baru diterapkan pada pertengahan tahun 2014 atau belum genap satu tahun. Setidaknya iklan bergambar tersebut merupakan langkah maju dari upaya masyarakat dalam menekan jumlah perokok, terutama bagi pemula.

"Iklan rokok bergambar itu tujuan utamanya adalah untuk mencegah munculnya perokok pemula. Dulu pesan-pesan itu tidak ada tapi sekarang sudah ada, termasuk peringatan tulisan seperti merokok membunuhmu," kata mantan Ketua PB IDI itu.

Lebih lanjut, dia mendorong promosi antirokok agar terus digencarkan demi kualitas hidup masyarakat. Menurut dia, data Riskesdas 2013 sudah cukup menggambarkan betapa banyaknya perokok dan calon perokok. Artinya, kualitas warga negara juga mengalami ancaman pertumbuhan fisik dan mental yang buruk dari promosi rokok oleh industri.

"Indonesia tergolong sebagai negara dengan warganya yang menjadi pecandu rokok terbesar. Riskesdas menunjukkan dua dari tiga orang laki-laki adalah perokok dan satu tidak. Satu orang yang tidak merokok itu bisa berubah menjadi perokok."

"Akibat dari kebiasaan merokok dampaknya bukan hanya bagi perokok tapi juga pada keluarga dan anak di rumah atau tempat dia pergi di mana terpapar asap rokok sehingga menjadikannya perokok pasif," kata dia.

Dengan potensi terus munculnya perokok baru, maka menurut dia anggaran pendidikan dan kesehatan akan terganggu terlebih dalam satu lingkup keluarga. Hak anak untuk mendapatkan kesehatan dan pendikan berkualitas terganggu. "Ini yang tidak terlalu disadari mereka. Mereka justru dirayu industri untuk terus merokok."

"Sebagian perokok adalah orang miskin. Sebanyak 70 persen dari orang tidak mampu itu adalah perokok. Dengan begitu, mereka lebih memilih merokok daripada menganggarkan dana untuk pendidikan dan kesehatan anak. Pendek kata, mereka lebih suka membelanjakan rokok daripada untuk gizi dan pendidikan anak mereka," kata dia.

(A061)

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014