Jakarta (ANTARA News) - Sepakat dalam satu rintisan payung pembicaraan mengenai langkah cespleng memajukan dan meningkatkan berbagai jenis Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia, baik Presiden terpilih yang juga Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) maupun pendiri dan CEO Facebook Mark Zuckerberg, sama-sama memaknai rumus "blusukan" di jagat pemikiran global.

Blusukan, di mata dan di hati Jokowi merujuk kepada aksi langsung terjun ke lapangan menyambangi rakyat di mana saja berada dari desa sampai kota demi mengetahui dan membawa solusi pemenuhan fatsun demokrasi, yakni amanat hatinurani rakyat.

Blusukan, bagi mata dan hati Zuckerberg, melalangbuana ke beberapa negara Asia, sebut saja India dan Indonesia, bermodalkan mantra dunia maya (virtual reality) dengan mengandalkan helaan energi media sosial berlabel Facebook.

Ketika blusukan dibincang oleh Jokowi dan Zuckerberg, lantas unsur drama ditulis media massa nasional. Ingin terkesan lugas bertanya dan terusik rasa ingin tahu seputar blusukan khas Jokowi, lantas miliarder kelas global itu bertanya dalam bahasa Inggris, "Apa istilah untuk menyebut aktivitas Bapak turun ke masyarakat?"

Jokowi menjawab bahwa aktivitas itu dinamai sebagai blusukan. "Apa? Blesekan?" kata Zuckerberg. Tidak ingin tamunya tinggal dalam ketidaktahuan, Jokowi serta merta menyodorkan penegasan, "Bukan, blu-su-kan."

Ini bukan sebatas Zuckerberg bertanya, Jokowi menjawab. Kedua sosok itu sama-sama dirasuk sihir dari blusukan.

Jauh dari terkesan ingin menyenang-nyenangkan tamu dengan mengandalkan berbagai corak pencitraan khas gelar karpet merah, Jokowi mengajak sang tamu berkunjung langsung ke lapangan, ke Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebagaimana ditulis oleh harian Kompas (14/10).

Berkunjung ke Pasar Tanah Abang selama kurang lebih 30 menit, Jokowi dan Zuckerberg mewarnai secara baru arti dari dunia maya. Dunia maya lekat dengan dunia yang mendekati kepada "kenyataan", sementara berkunjung ke Pasar Tanah Abang merupakan salah satu cermin kenyataan konkret masyarakat Indonesia.

Zuckerberg kondang dengan Facebook. Jokowi populer dengan blusukan. Keduanya ingin tenggelam dan terlibat dalam ulah kancah publik yang riuh dengan silang tukar gagasan di media sosial.

Di tengah keinginan serba raksasa dari jejaring sosial yang mengandalkan asa ingin saling terhubung dalam saling mengobrol (chatting), atau saling tukar wicara dan tukar citra dalam video call semacam Skype, blusukan tidak melulu datang langsung berkunjung ke lokasi dan membuka pembicaraan.

Blusukan dimaknai secara baru sebagai tindakan konkret yang menyiratkan seperangkat nilai untuk menuai tuah relasi kerja.

Blusukan adalah kerja. Blusukan jauh dari pencitraan diri. Blusukan bukan olah kata di mimbar, melainkan berorientasi kepada mereka yang sedang bekerja, bukan mereka yang sedang berselfie ria bermodal tongkat selfie (tongsis) di tengah keinginan rakyat mensejahterakan diri.

Blusukan bagi Zuckerberg, langsung ke pokok soal masyarakat Indonesia yang nota bene tersihir oleh Facebook. "Indonesia adalah negara yang sangat penting untuk Facebook, ada banyak sekali pengguna di sini," kata Zuckerberg ketika membuka workshop di Hotel Four Seasons, Jakarta.

Kata-kata Zuckerberg itu lantas dibalut dalam penampilannya yang siap bekerja dengan mengenakan kaus dan celana jeans, bukan justru memakai jas di tengah iklim panas di negeri ini. Blusukan ke Indonesia, diartikannya sebagai tahu dan peka dengan kondisi aktual masyarakat setempat.  

Tidak serba kebetulan, Jokowi mengandalkan kelompok kerja dalam tim kampanyenya. Ia mengusung dan mengedepankan "tim maya" (virtual team) untuk menyapa Indonesia.

Tim maya rakitan Jokowi dimaksudkan sebagai kelompok kerja yang tidak sebatas berkomunikasi lewat email, tetapi tim yang diharapkan berdayaguna mengatasi masalah aktual masyarakat.

Presiden terpilih (Jokowi) disebut-sebut tampil sebagai contoh kasus jempolan penggunaan internet. "Dia (Jokowi) berhasil memakai media sosial agar dapat menjalin komunikasi dengan masyarakat," kata Zuckerberg kepada KompasTekno. Jokowi dikenal sigap memanfaatkan media sosial, seperti Facebook dan Twitter, dalam masa kampanye Pemilu Presiden 2014.

Bos Facebook itu tidak ingin basa-basi. Di bawah naungan dogma bahwa dunia ini serba maya yang tidak memungkinkan orang tidak saling bertatap muka secara langsung dan saling berjauhan itulah, Jokowi dan Zuckerberg sama-sama mengandalkan tuah dari mesin global bernama dunia maya.

Kenyataan maya merujuk kepada hal yang tidak aktual. Di mata filsuf teknologi Hubert Dreyfus dalam buku bertajuk "On the Internet", kehadiran maya disebut sebagai kehadiran jarak jauh (telepresence).

Hadir artinya seseorang atau sekelompok orang menyadari apa yang sedang berlangsung. Mereka diharapkan mampu menyelesaikan tugas-tugas kesehariannya dengan mengamati dari jarak jauh.

Terhalang oleh faktor jarak jauh itulah, maka jalinan media sosial kehilangan banyak momen peristiwa aktual. Suasana hati rakyat yang sedang dilanda sukacita, atau didera galau oleh soal-soal keseharian bidang sosial, ekonomi, dan politik, justru tidak dapat ditangkap lewat fasilitas Skype misalnya.

Mengandalkan media sosial boleh jadi menghilangkan segala apa yang sedang dirasakan dan dialami masyarakat.

Praktisnya, bagaimana media sosial melukiskan dan memadatkan gejolak perut lapar, kerongkongan dahaga, atau asap dapur terancam tidak mengepul lantaran kenaikan harga-harga di pasar sebagai buntut dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Jelas, bahwa blusukan bukan sebatas terjun langsung ke tengah masyarakat, kemudian mendengar dan menggali persoalan untuk mencari dan menemukan solusi.

Blusukan pasca kedatangan Zuckerberg mengacu kepada pengakuan bahwa dunia maya tidak mengenyangkan perut, karena tubuh manusia mengalami deraan demi deraan dari ketiadaan sandang pangan.

Blusukan versi kerja bareng antara Jokowi bersama dengan Zuckerberg dapat dirumus secara positif bahwa "kita perlu belajar untuk tiada henti membangun kesiapan guna menanggulangi berbagai situasi." Ini artinya, apa yang maya sungguh-sungguh ada tetapi tidak aktual. Implikasinya, tidak tepat jika dikatakan bahwa "yang maya" lawan dari "yang nyata", karena yang maya artinya yang nyata juga.

Yang maya dan yang nyata, sama-sama mengarah kepada tubuh manusia. Tubuh manusia yang dapat merasa lapar dan merasa dahaga, atau meriang oleh amuk dasamuka setelah melihat dan menyaksikan ulah serba ganjil dari elite politik.

Media sosial mampu mengobarkan solidaritas rakyat, karena di sana ada "perut yang lapar, atau amuk dasamuka". Energi media sosial adalah energi rakyat, karena blusukan memantik kesadaran akan tubuh yang real-aktual.

Kalau ada laporan, bahwa "di sana kami masih dipalak atau dipungut bayaran oleh preman, atau harga pupuk masih tinggi, kami belum melaut karena harga solar mamsih tinggi, kami masih kesulitan mengakses transportasi yang sehat dan aman, maka...," jawabannya satu saja saja yakni memberi dan menyediakan solusi yang real dan aktual, bukan basa-basi politik sarat pencitraan diri.

Blusukan dalam kosa-kata Zuckerberg, artinya langsung menyentuh inti persoalan agar menemukan solusi. "Dalam hal ini perlu ada kerjasama antara perusahaan telekomunikasi, penyedia konten, dan penyedia hardware jaringan," katanya. "Ada banyak hal yang membatasi akses internet, bisa budaya dan lain-lain, untuk tema hari ini kita fokus ke persoalan ekonomi."

Meminjam kosakata postmodern, blusukan dengan huruf kecil mengerucut kepada jejaring media sosial dengan memanfaatkan Facebook, sementara blusukan dengan huruf besar mengarah kepada persoalan real-faktual setiap manusia yakni masalah ekonomi.

Dengan memungut inspirasi dari tuah blusukan, dan  pasca kedatangan boss Facebook, maka tidak ada kata lain bagi Presiden terpilih Jokowi untuk bekerja, bekerja, dan bekerja.

Pepatah Latin klasik menuturkan dengan mengutip pernyataan pujangga Horatius "nullum a labore me reclinat otium Urget diem nox, et dies noctem" (tidak ada waktu istirahat yang membuatku lepas dari pekerjaan, malam mengejar siang, siang mengejar malam).
(T.A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2014