Jakarta, 17 Oktober 2014 (ANTARA) -- Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) semakin menguatkan langkah Indonesia menuju kebangkitan sebagai bangsa bahari menuju negara maritim yang sejalan dengan poros maritim Presiden terpilih. Langkah tersebut dikuatkan dengan peran aktif  Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) sebagai perumusan kebijakan kelautan yang bersifat sektoral dan multi kepentingan yang telah dirasakannya manfaatnya. DEKIN hingga tahun 2014 ini telah menghasilkan berbagai capaian positif dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan nasional. Demikian disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan  Sharif C. Sutardjo selaku Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) saat memimpin Sidang DEKIN di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jumat (17/10).

Lebih lanjut Sharif menjelaskan, capaian yang telah diraih oleh DEKIN telah menunjukkan hasil yang signifikan diantaranya, pertama dalam memberikan rekomendasi dan memasukkan bidang kelautan ke dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014 - 2019. Lalu ada usulan Rancangan Peraturan Presiden tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI/Ocean Policy), Harmonisasi Rancangan Peraturan Presiden tentang KKI. Selanjutnya, Pengkajian Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dengan Pendekatan Input Output Ekonomi Ekologi, Pengkajian Hak dan Kewajiban Negara Kepulauan (UNCLOS™82) menuju Negara Maritim, Pengkajian tentang Revitalisasi Kelembagaan Kelautan, Pengkajian Potensi Ekonomi Kelautan Indonesia. Tak ketinggalan DEKIN lewat Kegiatan POKJA telah menghasilkan masukan bagi UU Kelautan, KKI, pelaksanaan kegiatan Sail Indonesia dan Hari Nusantara yang menambah esensi penguatan percepatan pembangunan di daerah kepulauan dan daerah terpencil, serta Peringatan World Oceans Day yang menghadirkan Calon Presiden sehingga muncul Restorasi Maritim dan Tol Laut oleh presiden terpilih.

Sebelumnya, pada Sidang Pleno DEKIN yang telah dilaksanakan pada Januari lalu. Presiden SBY menekankan orientasi pembangunan nasional ke depan tidak hanya ke darat, tetapi keseimbangan antara darat dan laut (land maritime based development). Hal ini sejalan dengan visi pemerintahan baru yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Terkait hal itu, Sharif menilai bahwa Indonesia sebagai poros maritim perlu dipahami  dari tiga makna atau unsur. Pertama, poros maritim dapat dilihat sebagai sebuah visi atau cita-cita mengenai Indonesia yang ingin dibangun. Dalam konteks ini, gagasan poros maritim merupakan sebuah seruan besar untuk kembali ke jati diri Indonesia atau identitas nasional sebagai sebuah negara kepulauan, yang diharapkan akan mewujud dalam bentuk Indonesia sebagai kekuatan maritim yang bersatu (unity), sejahtera (prosperity), dan berwibawa (dignity).

Kedua, poros maritim juga dapat dipahami sebagai sebuah doktrin, yang memberi arahan mengenai tujuan bersama (a sense of common purpose). Sebagai doktrin, bangsa Indonesia melihat dirinya sebagai "Poros Maritim Dunia, Kekuatan di Antara Dua Samudera". Doktrin ini menekankan realitas geografis, geostrategis, dan geoekonomi Indonesia yang masa depannya tergantung, dan pada saat yang bersamaan ikut memengaruhi, dinamika di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Ketiga, gagasan poros maritim tidak berhenti pada level abstraksi dan konseptualisasi namun diimplementasikan dalam pembangunan kelautan menuju Negara Maritim ke depan. Pasalnya kedepan, ekonomi kelautan makin strategis seiring pergesaran pusat kegiatan ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Poros Pasifik. Hampir 70 persen dari total perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik, dan 75 persen dari barang-barang yang diperdagangkannya ditransportasikan melalui laut Indonesia (Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut-laut lainnya). Tak hanya sektor ekonomi saja, bahkan saat ini terjadinya dinamika pusaran maritim dunia yang ditandai dengan berpindahnya pertarungan kekuatan global sea power dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. "Dimana secara geostrategis kita berada di tengah keduanya. Walaupun bergeser, peran Samudra Pasifik sebagai samudra terbesar di dunia akan tetap menjadi perhatian kekuatan maritime dunia (misalnya AS dan China) untuk tetap dapat menjaga kepentingan mereka terhadap akses baik secara militer, ekonomi, dan terutama melalui pendekatan politik dari kedua samudra tersebut," sambung Sharif.

Maka dari itu, lanjut Sharif, agenda makro maritim harus disesuaikan dengan dinamika perubahan dari kedua samudra tersebut. Setidaknya terdapat tiga agenda makro maritim. Pertama, agenda perencanaan pembangunan maritim yang mengintegrasikan dinamika Samudra Hindia dan Pasifik. Kedua, agenda penyelesaian tata ruang laut nasional. Ketiga, aransemen kelembagaan yang mengintegrasikan seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan maritim. "Dalam penyelesaian agenda tersebut, DEKIN harus berperan aktif sehingga menjadi pelopor," harapnya

Peran Aktif DEKIN sebagai pelopor pun telah ditunjukkan pada bulan September lalu, dimana Undang-Undang Kelautan sebagai payung hokum dalam pengelolaan kelautan di Indonesia telah resmi disahkan pada 29 September lalu oleh DPR. Beberapa yang diamanatkan dalam UU tersebut antara lain adalah perlunya segera dibentuk Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) dan kelembagaan laut. "Selain itu, di dalam UU Kelautan ada hal-hal yang diamanatkan secara khusus seperti pengelolaan kelautan dengan prinsip blue economy, otorita pengelolaan laut, kelembagaan kelautan, dan lain-lain."

Sementara itu, mengenai pembentukan BAKAMLA, sesuai dengan ketentuan UU Kelautan harus sudah ditetapkan dalam waktu paling lama enam bulan sejak UU Kelautan tersebut ditetapkan. BAKAMLA merupakan badan tunggal yang menangani pertahanan-keamanan, keselamatan dan penegakan hukum di laut. BAKAMLA nantinya bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. DEKIN sendiri telah melakukan pengkajian tentang BAKAMLA pada tahun 2009 lalu dan merekomendasikan pembentukan badan ini yang bersifat one institution, one command, multifunction.

Menurut UU Kelautan, pengelolaan kelautan dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya kelautan seperti perikanan, energi dan sumberdaya mineral, sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sumberdaya nonkonvensional yang menggunakan prinsip blue economy. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam blue economy dapat memperkuat ketahanan pangan dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, serta dapat diimplementasikan secara praktis dalam mengelola laut.

Selain UU Kelautan, DEKIN turut berperan aktif dalam menindaklanjuti Undang-undang Nomor 25 Tahun 2014. Tindak lanjut regulasi tersebut diwujudkan dengan Sidang DEKIN yang dihadiri oleh perwakilan Kementerian/Lembaga terkait di bidang kelautan, para pakar, perwakilan Perguruan Tinggi, serta LSM/asosiasi.  Menurut Ketua Harian DEKIN, terbitnya UU No.25 Tahun 2014 tentang Kelautan, semakin mendorong langkah Indonesia menuju kebangkitan sebagai bangsa maritim. Lebih lanjut, Sharif menjelaskan bahwa poros maritim dapat dipahami dalam tiga makna yaitu , Pertama; visi atau cita-cita yang ingin dibangun untuk mewujudkan
kekuatan maritim yang bersatu, sejahtera, dan berwibawa. Kedua, doktrin yang melihat Indonesia sebagai poros maritim dunia, kekuatan di antara dua samudera. Ketiga, poros maritim bukan hanya pada konsep tetapi implementasi dalam pembangunan kelautan ke depan menuju negara maritim yang maju, kuat, dan mandiri yang mampu berkontribusi pada dunia untuk menyejahterakan rakyatnya.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Lilly Aprilya Pregiwati, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Telp. 021-3520350)

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014