Jakarta (ANTARA News) - Akhirnya saat -saat yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang berpikiran sehat dan pecinta kedamaian itu tiba di rumah (almarhum) begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo.

Itulah saat presiden terpilih Joko Widodo bertemu dengan Prabowo Subianto, pesaingnya dalam Pemilu Presiden 2014.

Seperti drama dengan akhir yang bahagia, dua tokoh politik itu bertemu dalam suasana guyup alias rukun penuh canda yang kontras dengan suasana tegang selama keduanya bersaing memperebutkan jabatan politik puncak negeri ini.

Apalagi manuver politik Prabowo setelah Pilpres 2014 penuh enigma dan sempat membuat sejumlah kalangan geleng-geleng kepala karena kegigihannya mempersoalkan kemenangan Jokowi.

Kini semua ketegangan kembali ke suasana damai, rukun, guyub dan politik menjadi aktivitas kekeluargaan yang jauh dari kesan konflik kepentingan.

Dalam foto jurnalistik yang dimuat di media massa, Prabowo dan Jokowi tampak tertawa dengan gestur tubuh saling canda.

Dalam kesempatan itu Prabowo yang adalah Ketua Dewan Pembina merangkap Ketua Umum Partai Gerindra berkomitmen akan mendukung Jokowi dengan tetap kritis terhadap jalannya pemerintahan.

Prabowo minta semua pendukungnya paham bahwa persaingan politik tidak mesti memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. "Jangan sampai pertarungan politik itu memecah belah," kata Prabowo.

Pernyataan itu ditanggapi secara menyejukkan juga oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Jokowi berterima kasih atas penerimaan Prabowo di rumah orangtuanya.

Jokowi juga berterima kasih bahwa Prabowo akan memberikan dukungan sekaligus kritik terhadap pemerintahannya kelak. "Keseimbangan dalam manajemen negara itu baik sekali. Ada yang mengawasi dan mengkritik," tutur peraih anugerah wali kota terbaik sedunia itu.

Meskipun suasana politik saat ini terasa sejuk mendamai, demokrasi yang sehat akan diwarnai dinamika gejolak yang pasang surut. Landasan dasar dan filosofi hidup penuh guyub agaknya bisa dipakai untuk membekali semua pihak dalam melewati gejolak yang pasti akan tiba ketika kepentingan kedua kubu bertolak belakang.

Di samping itu kedua kubu, kubu Prabowo yang selama ini dijuluki Koalisi Merah Putih dan kubu Jokowi yang bernaung di bawah Koalisi Indonesia Hebat perlu menjadikan nilai dasar berdemokrasi sebagai patokan berkiprah dalam menegakkan demokrasi.

Nilai-nilai dasar itu, seperti diuraikan Ebenstain dan Fogelman dalam karya klasik mereka "Todays Isms", menyangkut empirisme rasional, penekanan individu, teori instrumental negara, kerelaan, hukum di belakang hukum, tekanan pada cara, diskusi dan kesepakatan dalam hubungan manusia dan kesamaan dasar semua umat manusia.

Yang dimaksud dengan empirisme rasional adalah nilai yang diyakini menjadi dasar dalam pencarian kebenaran di dunia yang fana ini. Di sini diajarkan bahwa pengalaman yang terjadi pada manusia yang berakal sehat lah yang menjadi patokan dasar kehidupan sehari-hari.

Penekanan pada individu sering disalahpahami oleh banyak orang yang curiga terhadap prinsip individualisme. Yang hendak ditekankan di sini adalah pemahaman bahwa individu punya nilai yang tak bisa direduksi dan ditundukkan pada kelompok. Makanya dalam demokrasi, setiap individu diberi hak yang setara, yang realisasinya dipraktikkan dalam pemilihan umum dengan "one man, one vote".

Demokrasi percaya pada nilai bahwa negara hanya alat alias instrumen, bukan tujuan dalam proses bernegara. Negara adalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar dari aktivitas berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan fasisme yang menundukkan warga pada Negara, demokrasi menempatkan Negara sebagai alat belaka.

Kerelaan menjadi nilai penting dalam demokrasi sehingga dalam pemilu pun tidak perlu ada pemaksaan oleh negara terhadap warga. Prinsip hukum di belakang hukum artinya hukum tak pernah dimutlakkan sebab setiap zaman punya semangatnya sendiri dan apa yang dijadikan patokan perilaku di masa tertentu bisa direvisi di masa yang lain karena tuntutan perubahan zaman. Hukum tak dijadikan monumen sejarah.

Demokrasi memberikan tekanan pada cara alias prosedur. Cara-cara yang disepakati bersama harus didahulukan dan tak bisa dilanggar untuk alasan tujuan, yang diputuskan oleh kekuatan yang sedang memegang hegemoni.

Demokrasi mengutamakan diskusi dan kesepakatan dalam hubungan manusia. Pertarungan dan konflik kepentingan harus diatasi lewat diskusi dan jalan keluar yang diutamakan adalah yang didasarkan pada kesepahaman pihak-pihak yang berkonflik atau berkompetisi.

Yang terakhir adalah kesamanaan dasar umat manusia. Di sinilah yang penting dan secara terus-menerus perlu diperjuangkan. Pluralisme antara lain berpatokan pada prinsip ini. Di sini pula terletak nilai dalam melindungi kaum minoritas dari segala aspek manusiawi, entah itu minoritas secara entisitas, bahasa, agama.

Apakah nilai-nilai demokrasi yang dijadikan prinsip bernegara itu akan dijadikan patokan kedua kubu kekuatan politik yang kini mulai memperlihatkan keguyuban mereka? Pertanyaan ini lah yang akan diperlihatkan kepada publik dalam lima tahun mendatang.

Pada prinsipnya, baik kubu Koalisi Merah Putih maupun kubu Koalisi Indonesia Hebat sama-sama memiliki komitmen yang sama yakni terjadinya kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam praksis politik mereka, akan ada nuansa tekanan dalam cara dan gaya untuk mencapai tujuan. Dan pada poin inilah keduanya sedang dinilai oleh masyarakat, siapa yang paling benar-benar menggunakan cara dan gaya yang paling efektif dan efisien dalam mencapai kesejahteraan itu.

Tentu, penilaian masyarakat tak akan pernah objektif karena yang mereka nilai juga dalam posisi yang tak setara, di mana satu kubu berposisi sebagai eksekutif dan kubu yang lain sebagai pengontrol atau pengawas.

Meski demikian, kedua kubu tetap pantas memperlihatkan peran terbaik mereka di mata masyarakat karena ujung dari semuanya adalah anugerah yang akan diberikan dalam pemilu mendatang lewat suara masyarakat.

Oleh M Sunyoto
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014