Jika produk negara lain masuk ke sini, maka kenapa kita juga tidak mencoba memperluas jaringan hingga ke luar negeri?"
Jakarta (ANTARA News) - Industri kreatif di Tanah Air makin berkembang dan pelakunya percaya diri memasuki era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA).

Hal itu tersirat dari Trade Expo 2014 yang diselenggarakan oleh Kementerian Perdagangan belum lama ini di JiExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Salah satunya adalah bantal kreatif Humia Living oleh Rika Marni dan rekan-rekannya.

Humia Living membuat bantal bentuk kotak bermotif rasi bintang zodiak, bulat panjang guling biasa bermotif bunga, dan yang paling unik adalah bantal berbentuk alat musik seperti gitar.

Bantal gitar tersebut ukuran dan desainnya persis dengan model aslinya, misalnya jenis Stratocaster, Telecaster, Les Paul, lengkap dengan penjelasan fungsi gitar aslinya terdapat pada kertas label informasinya.

"Saya memulai berbisnis ini bersama dengan suami saya Ale dan dua rekan saya Ira, serta Ridwan sebagai desainer," kata Rika Marni  yang berlatar Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung.

Terkait dengan rencana industri pasar terbuka Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang resmi berjalan pada tahun 2015, Rika menganggap hal itu adalah sebagai tantangan bagi pengusaha baru.

"Sebelumnya saya sudah tahu apa itu MEA, namun dengan adanya program itu saya tidak berubah pikiran untuk memulai sebuah usaha, justru itu adalah tantangannya," ujar Rika yang memulai usahanya satu tahun lalu.

Menurut dia MEA bisa menjadi acuan agar produk lokal bisa menembus pasar internasional.

Produk lokal yang menembus pasar internasional memang sudah banyak, antara lain mainan kayu milik Papoe Toys produksi Jombang yang bisa menembus pasar industri di Swiss.

Riza Ambadar selaku Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia mengatakan bahwa produk mainan edukasi milik Papoe Toys sudah 12 tahun mampu stabil memasok produknya ke negara Swiss secara berkala.

"Ya selama ini kami sudah melakukan ekspansi hingga ke Swiss dan sedang berencana merambah negara tetangga terdekat, jadi menghadapi MEA bisa jadi sebuah kesempatan buat pengusaha untuk mendapatkan beberapa peluang," kata Riza.

Hal senada juga dikemukakan Coki William, pemilik usaha Bengkel Tas di daerah Pusat Industri Kecil, Pulogadung, Jakarta Timur.

"Jika produk negara lain masuk ke sini, maka kenapa kita juga tidak mencoba memperluas jaringan hingga ke luar negeri?" kata Coki.

Hal yang dikhawatirkan Coki bukanlah dari MEA yang bisa mengancam bisnisnya, tetapi jika masyarakat Indonesia sendiri sudah tidak bangga dengan produk lokal.

"Kalau masyarakat sudah bangga dengan produk luar negeri, tanpa adanya MEA pun kami bakal kesulitan dan perlahan bangkrut," ujarnya.

Strategi Pengusaha
Industri kreatif seperti Humia Living, Papoe Toys dan Bengkel Tas memiliki strategi tersendiri dalam menghadapi tantangan pasar bebas MEA 2015.

Inovasi selalu menjadi kunci bertahannya industri kreatif, bagaimana melihat target konsumen melalui celah seni, tuntutan pasar dan menjaga kualitas.

Rika pemilik Humia Living menjelaskan jika kreativitas yang dimiliki para pegawainya selalu diasah dengan mengikuti perkembangan zaman, terutama pada pemasaran barang.

"Sebagus apa pun produknya jika tidak memiliki tim pemasaran yang bagus, maka akan menjadi percuma hasil produksinya," ujarnya.

Rika lebih memilih memanfaatkan media sodial dan aktif dalam kegiatan pameran untuk memperkenalkan produknya. Facebook, Twitter, Line, Instagram, Path, Web, Blog dan jejaring sosial lainnya sudah digunakan Rika untuk menawarkan bantal unik miliknya.

"Usaha kami ini baru, sehingga toko offline milik kami belum terlalu ramai, namun pada toko online Humia sudah memiliki pelanggan tetap, bahkan interaksi dan tawar menawar sering terjadi di dunia maya daripada bertemu langsung," katanya.

Untuk mempertahankan kualitas, Humia mewajibkan setiap produk untuk dibuat dalam dua tahap proses produksi.

Tahap pertama pembentukan bantal dibuat dengan menggunakan mesin dalam merancang desain dan menempel ornamen-ornamen, namun pada tahap penyelesaian dia mengharuskan adanya sentuhan kreativitas tangan manusia untuk merapikan serta membentuk motifnya.

"Jangan sampai semua dikerjakan oleh mesin, karena nanti unsur seninya tidak akan terlihat, semisal hanya menempelkan gambar atau kancing," katanya.

Dalam memulai bisnis ini Rika menghabiskan modal sebesar Rp50 juta yang didapat dari perhitungan bersama ketiga rekannya.

Omzet setiap bulannya bisa mencapai rata-rata Rp10 juta pada empat bulan pertama. Kekhawatiran Rika hanyalah pada birokrasi pejabat berwenang yang korupsi.

"MEA tetaplah tantangan bagi kami, namun yang mengkhawatirkan justru ketika kami berhadapan dengan oknum pejabat jika akan melakukan ekspor tetapi dipersulit dengan adanya pungutan liar," katanya.

Sementara strategi Papoe Toys adalah meningkatkan kualitas dengan cara membuat lisensi, hak paten dan pemberian label Standar Nasionnal Indonesia (SNI).

Sementara itu, pengusaha Bengkel Tas, Coki Wiliam mengatakan saat ini sedang fokus menguatkan potensi pasar lokal, karena kebanyakan pelanggannya menganggap Bengkel Tas sebagai jasa pembuatan tas.

"Usaha ini lebih dikenal sebagai jasa pembuatan tas, walaupun saya juga menjual tas satuan desain sendiri," kata Coki.

Alasan Coki memperkuat potensi lokal adalah ketika produk tas luar negeri mulai beredar dipasaran Indonesia, ia masih memiliki kemampuan untuk memproduksi tas sesuai keinginan konsumen dengan jumlah banyak.

"Saya memperhitungkan jika harus bersaing dengan merek tas jadi dari luar, kami masih kewalahan, tetapi jika bersaing pada sektor jasa pembuatan tas yang inovatif dan kreatif, kami masih bisa bersaing dengan Sumber Daya Manusia yang ada," katanya.

Coki mengimbau pada pemerintah agar menyiapkan perlindungan kepada pengusaha kecil melalui pemahaman yang mendasar dan detail mengenai sosialisasi MEA, karena tidak semua pengusaha memahami perkembangan informasi dari MEA.

Pewarta: Afut Syafril
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014