Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi LIPI Agus Eko Nugroho mengatakan Presiden Joko Widodo perlu meyakinkan pelaku pasar, terutama investor asing, bahwa pemerintah akan segera melakukan reformasi struktural untuk memperbaiki ruang fiskal dan defisit di neraca transaksi berjalan.

"Pasar sudah menunggu gebrakan Jokowi. Paling tidak, Jokowi harus memberikan sinyal untuk perbaikan struktural, agar kepercayaan investor dapat terjaga," kata Agus di Jakarta, Senin.

Menurut Agus, selama ini pelaku pasar sudah menanti kebijakan Jokowi yang berorientasi mereformasi struktural ekonomi.

Salah satu kebijakan reformis itu adalah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, dimana pada 2014, pagu anggarannya telah menghabiskan Rp246,5 triliun, atau sekitar 20 persen dari belanja pemerintah pusat.

"Sekarang pertanyaannya, apakah pemerintah Jokowi sudah siap menaikkan harga BBM, sudah siap dengan program antisipasi dampaknya," ujarnya.

Dalam reformasi struktural ekonomi Indonesia, kata Agus, pengurangan belanja subsidi menjadi hal yang cukup penting. Namun, kata Agus, Jokowi harus terlebih dahulu membuat program-program perlindungan sosial jika harga BBM dinaikkan.

"Soalnya bukan hanya menghapuskan subsidi, tapi bagaiamana jaring pengaman sosial, dan antispasi inflasi dapat bekerja dengan baik akibat dampaknya," ujar dia.

Jika Jokowi belum siap menaikkan harga BBM dalam waktu dekat ini, Agus menyarankan pemerintah menunda kenaikan harga BBM hingga paling lambat Januari 2015. Selanjutnya, pemerintah tetap merencanakan kenaikan harga BBM yang dibuat dalam skema periodik.

Skema kenaikan harga BBM itu juga mencantumkan target-target yang terukur, selain juga harus disosialisasikan dengan baik ke publik.

"Ini dapat menjadi sinyal ke pasar bahwa akan ada reformasi struktural, meski kenaikkan BBM tidak terlalu cepat," katanya.

Selain itu, Agus mengatakan Jokowi juga perlu segera memaparkan rencana aksinya menuju Indonesia yang kuat ekonomi maritimnya. Kebijakan itu juga diharapkan membangun sektor industri dan program hilirisasi di berbagai bidang, sehingga Indonesia mampu mengurangi impor.

Dengan begitu, defisit pada neraca perdagangan dan juga neraca transaksi berjalan dapat diturunkan. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka pemerintah dapat meyakinkan pelaku pasar bahwa stabilisasi ekonomi dapat terjaga.

Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit mencapai 318 juta dolar AS pada Agustus 2014. Defisit Agustus merupakan defisit yang keempat dialami Indonesia pada 2014, setelah Januari, April dan Juni.

Sedangkan, defisit neraca transaksi berjalan sebesar 4,27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau senilai 9,1 miliar dolar AS hingga kuartal II 2014.

(I029/R017)

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014