Jakarta (ANTARA News) - Sebagian masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi tidak harus selamanya bergantung pada minyak tanah untuk memasak. Dengan memanfaatkan kotoran ternak, selain bisa menyalakan kompor biogas, pupuk kompos pun bisa mereka produksi dan dijual. Pepatah "Tak ada rotan akar pun jadi" nampaknya telah menjadi inspirasi bagi sebagian masyarakat petani di Tanjung Jabung Timur tersebut. Khususnya, mereka yang tinggal di sentra penghasil ternak, seperti sapi, kerbau, dan ayam. Di tengah kelangkaan minyak tanah dan melambungnya harga bahan bakar minyak tersebut, upaya memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan bakar alternatif, tentu merupakan pilihan terbaik. Apalagi, api yang dihasilkan dari pemrosesan kotoran ternak, selain tidak menimbulkan bau, juga tidak menyebabkan lingkungan kotor. Proses memasak pun jadi lebih cepat karena nyala api berwarna biru. Paling tidak, hal tersebut sudah dibuktikan oleh petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Suka Maju Dusun Jati Mulyo, Kecamatan Geragai Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Mereka terlihat tak canggung mengoperasikan kompor biogas, yang merupakan bantuan kontraktor minyak dan gas bumi (migas) PetroChina International Jabung Ltd (PIJL) bekerja sama dengan Dinas Peternakan setempat. PetroChina merupakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas yang memiliki wilayah operasi di Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat. Menurut Manager Government and Public Relations PetroChina International Companies in Indonesia, Maryke Pulunggono, pihaknya selama tahun 2008 menyalurkan bantuan sebanyak 261 ekor sapi dan 80 unit peralatan biogas, mulai dari reaktor, selang regulator, hingga kompor siap pakai. "Semua peralatan termasuk sapinya disediakan PetroChina melalui program community development," katanya. Bantuan tersebut sejalan dengan program Dinas Peternakan Kabupaten Jabung Timur yang sejak beberapa waktu lalu telah meluncurkan reaktor biogas sederhana, yang terbuat dari bahan "fiber glass". Kendati terbuat dari "fiber glass", namun reaktor yang populer dengan sebutan Reaktor Biogas Fiber ini sanggup menawarkan sejumlah keunggulan dibanding reaktor sejenis yang terbuat dari bahan lain, papar Kepala Bidang Budidaya Ternak Pemkab Tanjung Jabung Timur, Rajito saat mengunjungi kegiatan kelompok tani Suka Maju, pekan lalu. Keunggulan dimaksud, antara lain, bahan gampang didapat, lebih murah, kuat karena tidak mudah retak maupun sobek. Selain itu, kebutuhan lahan tidak luas, hanya 1,5 X 2,5 meter, pemasangan mudah; cukup dimasukkan ke dalam galian tanah tanpa pekerjaan tembok, tingkat produksi biogas cukup tinggi, mencapai kisaran 1,5 hingga 2 liter, serta punya masa pakai lebih dari enam tahun. Adapun spesifikasi reaktor biogas ini terdiri atas volume reaktor sebesar tiga meter kubik, dimensi berukuran 1,5 meter, kapasitas penampung biogas 2 meter kubik, pipa saluran biogas sepanjang 20 meter, pengamanan tekanan biogas sebanyak satu unit, serta kompor sebanyak satu unit. Khusus untuk penampungan biogas, perlu ditempatkan di lokasi yang aman dari jangkauan anak-anak maupun hewan peliharaan. Biogas sejauh ini dideskripsikan sebagai gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi anaerob. Kandungan gas yang terdapat dalam biogas, yakni CH4 (metana) sebesar 60 persen, CO2 (karbondioksida) 38 persen, serta N2 (nitrogen), O2 (oksigen), H2 (hidrogen), H2S masing-masing dua persen. Dengan komposisi seperti itu, tak heran bila biogas dapat dibakar seperti elpiji dan menjadi sumber energi alternatif dan terbarukan. Untuk mendapatkan sumber biogas, tak sulit. Bahan organik sumber biogas bisa diperoleh dari kotoran ternak, seperti sapi, kerbau, kuda, babi, kambing, domba dan ayam. Tak hanya sebatas itu. Limbah industri tahu, tempe, kecap, kelapa sawit, dan tapioka pun bisa dimanfaatkan sebagai sumber biogas. Tak terkecuali, sampah organik yang dihasilkan rumah tangga, restoran maupun pasar. Hanya memang potensi biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak tak persis sama. Potensinya bervariatif. Demikian pula, kemampuannya sebagai bahan bakar alternatif bila dibandingkan dengan bahan bakar lainnya. Untuk mengoperasikan kompor ini juga terbilang tak rumit. Yang penting, sejumlah tahapan dan persyaratan perlu dipenuhi, kata Rajito. Pertama, sumbat lobang saluran pengumpan yang ada dalam drum pengaduk. Kedua, memasukkan 750 kg kotoran sapi dan 750 liter air (1:1) kemudian diaduk hingga merata, selanjutnya adukan tersebut dimasukkan ke dalam reaktor biogas. Kemudian diamkan adukan tersebut selama 5-7 hari hingga terbentuk gas. Munculnya gas ini dapat dilihat pada plastik tempat penampungan gas yang akan menggelembung. Pada saat itu, kompor gas siap digunakan. Selanjutnya setiap hari reaktor biogas harus diisi dengan kotoran sapi sebanyak 25 kg dan air sebanyak 25 liter. Kompor gas pun dapat dioperasikan selama 5-7 jam per hari. Pengoperasian kompor biogas ini bisa mendatangkan keuntungan ekonomis yang lumayan bagi pemakainya. Menurut Parli (40), anggota Kelompok Tani Suka Maju, pemakaian kompor biogas memberikan penghematan pengeluaran keluarga rata-rata setara dengan pemakaian minyak tanah dua liter per hari atau Rp8.000 per hari. Dengan asumsi harga minyak tanah Rp4.000 per liter, berarti dalam sebulan peternak bisa menghemat pengeluaran rata-rata Rp240.000, katanya. Selain itu, reaktor biogas juga mampu menghasilkan pupuk kompos sebanyak 400 kilogram per bulan. Bila harga jual kompos Rp500 per kg maka akan diperoleh tambahan pendapatan bagi peternak Rp200.000 per bulan. Dengan demikian, setiap bulan peternak sapi bisa memiliki tabungan sebesar Rp440.000. Sebuah angka penghematan yang cukup signifikan, tentunya. Atas dasar itu pula tidak berlebihan jika Pemkab Tanjung Jabung Timur sudah mengalokasikan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten untuk melanjutkan program tersebut pada tahun 2009. Rajito mengharapkan, program tersebut bisa digulirkan kembali kepada kelompok peternak sapi lainnya yang belum mendapatkan bantuan bibit sapi di wilayah proyek percontohan tersebut. Sementara dari PetroChina untuk tahun 2009 belum menganggarkan program bantuan serupa karena adanya perubahan kebijakan mengenai program Community Development (CD) dari pemerintah Indonesia. Meski begitu, "Kami akan tetap memberikan perhatian penuh terhadap program tersebut," kata Maryke.(*)

Oleh Oleh Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009