Jakarta (ANTARA News) - Senyum Ibu Pertiwi tak lagi di kulum, tapi sumringah karena bungah.
                                            Nusa bangsa tertawa bahagia.
                                            Belum pernah Indonesia sebahagia ini.
                                            Bahagia oleh harapan yang membuncah.

Euforia akan kepemimpinan baru yang menerbitkan harapan menjalar ke seantero negeri. Harapan untuk Indonesia yang lebih baik, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkepribadian secara kebudayaan.

Oleh Majalah Time, euforia itu dilukiskan di sampul lewat kalimat singkat: A New Hope. Wajah Presiden Joko Widodo dihadirkan full page.

Rakyat merasa inilah untuk pertama kalinya seorang presiden lahir dan besar dari tengah-tengah mereka. Presiden adalah kita. Kata Emha Anun Nadjib, Jokowi disukai rakyat karena badannya kurus. Kurus adalah personifikasi rakyat kebanyakan.

Pesta rakyat di mana-mana, mengisyaratkan mereka bahagian dengan harapannya. Harapan adalah anasir pokok yang menentukan kebahagiaan. Kata orang bijak, a person needs just 3 things to be truly happy: someone to love, something to do, and something to hope for.

Andai Gallup melakukan survei tingkat kebahagiaan sebuah negara hari ini, bisa dipastikan Indonesia akan masuk 10 besar, bahkan bukan tidak mungkin jadi juara.

Survei sebelumnya menempatkan Indonesia di posisi ke-12. Urutan satu sampai sepuluh didominasi negara-negara Amerika Latin, dengan Paraguay ada di peringkat teratas. Denmark ada di urutan ke-8, satu-satunya negara di luar Amerika Latin yang bercokol di sepuluh besar.

Mengapa Paraguay? Bukan karena negeri ini punya model cantik Larissa Riquelme yang siap buka bra demi timnas sepakbolanya. Tapi -menurut Gallup- karena rakyat negeri itu punya kecenderungan tinggi untuk fokus pada kehidupan yang lebih positif.

Dengan kata lain, negara yang tidak bahagia adalah negara yang rakyatnya lebih fokus pada kehidupan negatif.

Husnudz-dzan alias positive thinking membuat orang bahagia. Tapi jarak antara positif dan negatif amat nisbi. Bisa amat panjang, bisa tanpa jarak sama sekali. Husnudz-dzan bisa sontak berubah menjadi suudz-dzan, prasangka negatif, manakala harapan yang dijanjikan hanya berhenti pada harapan. Tidak mewujud dalam kenyataan.

Yang digadang-gadang mewujudkan harapan akan perubahan, ternyata tidak lebih dari Pemberi Harapan Palsu (PHP). Yang hadir hanyalah kekecewaan. Kekecewaan dan prasangka buruk adalah kehidupan negatif yang mereduksi kebahagiaan.

Tidak salah menggantungkan harapan setinggi langit. Tapi pada saat yang sama bersiap-siaplah kecewa sedalam lautan. Jika terbukti palsu, kekecewaan akan menyakitkan. "Sakitnya tuh di sini ..." kata penyanyi dangdut Cita Citata.

Jangan salahkan PHP. Salahkanlah Anda yang mau diberi harapan. Mau diiming-imingi harapan, harus mau menanggung risiko merasakan kekecewaan.

PHP sejatinya tidak susah dikenali, karena bisa dikategorikan sebagai perilaku berulang atau obsessive compulsive disorder (OCD). Sekali terbukti ingkar janji, potensial untuk mengulangi di kemudian hari.

Andai keadaan memaksa berharap pada PHP, jangan jadikan dia satu-satunya harapan. Harus ada plan b, c, dan seterusnya. Never put all the eggs in one basket.

Presiden juga manusia. Manusia seratus persen, bukan setengah dewa. Begitu juga Wapres dan anggota kabinet. Takdir manusia adalah mahluk gotong royong. Perlu orang lain untuk menyelesaikan persoalan, untuk menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Perlu kebersamaan untuk mewujudkan harapan.

Maka agar harapan tidak berubah menjadi kekecewaan, stop berpangku tangan. Stop jadi penonton. Jadilah bagian yang berkontribusi untuk terwujudnya harapan kolektif bangsa ini. Sekecil apa pun kontribusi itu.

Kontribusi paling sederhana adalah: kalau tidak bisa membantu, jangan mengganggu.

Manakala harapan tak terwujud, jangan gampang kecewa karena tidak suka. Bisa jadi kita tidak suka sesuatu padahal itu baik bagi kita. Bisa jadi kita suka sesuatu padahal itu tidak baik bagi kita.

Manusia hidup karena punya harapan. Maka jangan pernah putus harapan. Berhenti berharap identik dengan mengakhiri hidup tanpa perlu bunuh diri.

Alhasil, suarakan terus harapan, terutama yang menyangkut kepentingan kolektif rakyat dan bangsa. Tapi tak perlu larut dalam euforia. Sewajarnya saja. Pintar-pintarlah mengelola harapan, agar tidak terpuruk oleh kekecewaan yang mereduksi kebahagiaan.

Jika harapan kolektif berubah menjadi kekecewaan kolektif, derajat kebahagiaan nasional akan anjlok. Buntutnya, Indonesai jadi negara yang tidak bahagia. Murung akibat masa depan suram.

Akan banyak orang apatis, seraya mengutip pepatah Tiongkok: berharap pada Tuhan saja sulit apalagi pada manusia.

*Wartawan

Oleh *Hadi M Djuraid
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014