Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi mendalami kasus suap mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait Pilkada Lebak, Banten, dengan memeriksa dua petinggi MK Janedri M Gaffar dan Kasianur Sidauruk.

"(Diperiksa) untuk (kasus) Lebak, (tersangkanya) Amir Hamzah dan Kasmin," kata Janedri M Gaffar yang juga Sekjen MK usai diperiksa di gedung KPK di Jakarta, Kamis.

Janedri mengaku ia ditanya apakah dirinya kenal dengan kedua tersangka kasus tersebut yaitu mantan calon bupati Lebak Amir Hamzah dan pasangannya Kasmin.

"Saya ditanya apakah saya kenal mereka. Saya katakan, bagaimana saya kenal? Saya wajahnya saja tidak tahu," ungkap Janedri.

Ia mengaku hanya memberikan keterangan yang bersifat administratif.

"Kalau khusus yang terkait kasus Amir Hamzah itu kan kita memberikan keterangan yang bersifat administratif, sama keterangannya misalnya Pak Akil (Mochtar) kapan diangkat jadi hakim dan kenal tidak dengan pak AH (Amir Hamzah) dan Kasmin dan saya jawab, saya tidak kenal dengan Pak Amir Hamzah," tambah Janedri.

Janedri pun menjelaskan tidak tahu saat persidangan Amir Hamzah dan Kasmin dilaksanakan di MK.

"Saya tidak tahu tentang persidangan, dan saya hanya bertanggung jawab dalam hal administratif," ungkap Janedri.

Sedangkan panitera MK Kasianur Sidauruk mengatakan ia hanya menambahkan keterangan dari kesaksiannya sebelumnya.

"Hanya menambahkan saja keterangan saya yang terlebih dahulu, kaitannya dengan kabupaten Lebak atas nama tersangka Hamzah," kata Kasianur seusai diperiksa KPK.

Keterangannya adalah terkait catatan mengenai putusan sengketa pilkada Lebak.

Amir Hamzah dan Kasmin diduga melanggar pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun ditambah denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

Kasus ini merupakan pengembangan perkara sengketa pilkada di MK yang sudah menyeret mantan ketua MK Akil Mochtar, Gubernur Banten non-aktif Ratu Atut Chosiyah dan adik Ratu Atut, pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.

Dalam pertimbangan vonis Ratu Atut, hakim menyatakan bahwa Ratu Atut memang menyuap Akil Mochtar senilai Rp1 miliar untuk pengurusan sengketa pilkada Lebak di MK yang berdasarkan hasil Komisi Pemilihan Umum Daerah Banten dimenangkan Iti Oktavia. Pemberian uang itu karena Amir Hamzah mengikuti perintah Ratu Atut untuk mengurus sengketa pilkada tersebut dan mendekati Akil Mochtar.

Hasil putusan sengketa pilkada Banten di MK memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang di seluruh tempat pemungutan suara di Lebak.

Meski Atut mengaku namanya hanya diperjualbelikan oleh Amir Hamzah, tapi hakim berdasarkan saksi dan bukti menilai bahwa Atut memang menyetujui pemberian uang Rp1 miliar kepada Akil yang ditunjukkan pemanggilan Amir Hamzah dan Kasmin ke rumah dinas Atut. Di sana Atut meminta Amir dan Kasmin agar lebih sering turun ke masyarakat agar dapat meningkatkan elektabilitas keduanya.

Terkait perkara ini, Akil Mochtar telah divonis penjara selama seumur hidup, Ratu Atut dihukum penjara empat tahun dan denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan, Wawan divonis selama lima tahun dan pidana denda Rp150 juta subsider tiga bulan penjara dan pengacara Susi Tur Andayani yang menjadi perantara pemberian uang dihukum selama lima tahun dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014