Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia meminta pemerintahan baru tidak mengecilkan peran perguruan tinggi swasta dalam membina sumber daya manusia Indonesia.

"Sampai saat ini PTS belum memperoleh keadilan dalam kebijakan penganggaran. Kebijakan pemerintah dalam anggaran pendidikan seharusnya memperhatikan prinsip keadilan baik bagi PTN maupun PTS," kata Sekretaris Jenderal Aptisi Prof Dr Suyatno dalam pernyataan sikap yang dikirim ke Antara di Jakarta, Jumat malam.

Ia mengatakan berhubung semangat UU Dikti adalah berupaya agar pendidikan tinggi tidak terjerumus ke dalam komersialisasi, berarti tanggung jawab negara jangan semata-mata hanya dikaitkan dengan PTN tetapi juga harus menjamin bahwa PTS tetap berwatak nirlaba.

Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat (RPPP) Aptisi ke-6 di Bandung 23-24 Oktober 2014 itu menyatakan, negara juga harus turut berkontribusi dalam pembiayaan PTS, misalkan dengan skema Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Swasta (BOPTS) yang dianggarkan dalam APBN.

Semangat pemerintah untuk melakukan "negerinisasi" menurut Aptisi, hendaknya disertai dengan pemberdayaan PTS-PTS yang ada, tidak harus dengan mendirikan PTN baru atau mengubah PTS menjadi PTN baru.

Selain itu, pengalokasian Beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu dari daerah 3T (tertinggal, terpencil, terluar) juga dapat disalurkan kepada PTS, bukan hanya kepada PTN, kata Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu.

Dinyatakan pula bahwa UU memberikan ruang untuk membentuk Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) dan pemerintah telah mengeluarkan Permendikbud no. 87 tahun 2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, namun demikian masih terdapat pasal yakni pasal 34 dan 39 yang diskriminatif antara pembiayaan LAM Pemerintah dan LAM Masyarakat.

"Untuk itu Aptisi meminta pemerintah memperlakukan perguruan tinggi secara sama dan tetap bertanggung jawab atas pendanaan akreditasi dan reakreditasi sebagaimana yang berlaku selama ini, sehingga DPR dan pemerintah perlu menambah anggaran khusus untuk mengimplementasikan proses akreditasi itu," katanya.

Dinyatakan pula akreditasi tidak boleh dijadikan syarat seleksi calon pegawai negeri sipil karena kebijkan ini diskriminatif dan berdampak tidak baik bagi masyarakat di daerah-daerah.

"Jika di suatu daerah tertentu tidak ada satupun Proram Studi dan/atau Institusi yang akreditasinya A dan B, maka di daerah tersebut tidak akan ada yang dapat melamar menjadi PNS atau tidak dapat melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi," katanya.

Aptisi juga mengusulkan agar ketentuan terhadap Perguruan Tinggi Asing (PTA) diperketat syaratnya, misalnya perlunya memenuhi standar pendidikan nasional, kearifan lokal, jenis dan program studi, kewajiban untuk kerja sama dengan perguruan tinggi lokal, kewajiban merekrut dosen lokal, harus bersifat nirlaba dan keharusan untuk mengembangkan ilmu yang mendukung kepentingan nasional.

"Dikeluarkannya Permendikbud No. 95 tahun 2014 memungkinkan keberadaan PTA untuk beroperasi dalam bentuk Commercial Presence. Keberadaan PTA tersebut hendaknya diperlakukan sebagai partner bagi PTN dan PTS dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia," ujarnya.

Kekurangsiapan Indonesia menghadapi pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ujarnya, juga harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah, dan khususnya perguruan tinggi sebagai lembaga yang menciptakan tenaga sumber daya insani Indonesia dengan sosialisasi dan edukasi ke publik tentang MEA.

Pewarta: Dewanti Lestari
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014