Jakarta (ANTARA News) - Bunyi cak, cuk, cello, kontra bass, kendang, akordeon, flute dan bass elektrik berbaur mengiringi suara nyaring Ubiet membawakan tembang lama "Aksi Kucing" saat Ubiet Kroncong Tenggara tampil di Pekan Komponis Indonesia, Sabtu (25/10).

Ubiet dan rekan-rekannya menjadikan keroncong sebagai inspirasi. Keputusan itu bukan tanpa alasan. Mereka memilih keroncong karena jenis musik itu merupakan salah satu musik tertua di Indonesia.

"Musik hibrida, campuran Eropa dengan musik lokal," jelas Ubiet, yang bernama lengkap Nya Ina Raseuki.

Guru Besar musikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta Victor Ganap dalam "Keroncong: Fenomena Akulturasi Pelayaran Sutera Bahari" menulis bahwa keroncong merupakan musik Indonesia yang lahir paling awal dalam sejarah nasional.

Jenis musik itu ada sejak kedatangan bangsa Portugis pertama di Sunda Kelapa tahun 1513 dalam pelayaran pertama mereka untuk mencari rempah-rempah ke Maluku.

Marinir Portugis dari Goa, India, yang terdampar di Batavia karena kapalnya karam, oleh Belanda yang sedang berkuasa dibuang ke Kampung Tugu, yang kemudian menjadi tempat mereka menghidupkan kembali musik Portugis.

Selain tua, Ubiet menjelaskan, keroncong merupakan representasi dari bunyi-bunyian Indonesia yang bisa jadi inspirasi bermusik.

"Ada banyak unsur yang bisa diterjemahkan jadi bunyi baru," katanya.


Masih Hidup

Musik keroncong sampai sekarang masih hidup, namun pendengarnya terbatas pada komunitas tertentu.

Menurut komponis Slamet Abdul Sjukur, keroncong masih hidup tapi tidak disukai oleh industri musik. Dia mengatakan popularitas keroncong menurun karena kurangnya promosi.

Para musisi, ia mengatakan, bisa bekerja bersama memajukan keroncong. Dengan pengetahuan yang kuat tentang latar belakang, ia melanjutkan, para musisi bisa menghasilkan karya yang punya kekuatan untuk mengembangkan musik itu.

Sementara menurut komponis Dian HP, yang juga anggota Ubiet Kroncong Tenggara, usaha memperkenalkan kembali keroncong ke publik bukan hanya tugas seniman, tetapi juga produser dan media.

Para seniman tidak bisa lepas tangan setelah menciptakan karya, mereka juga harus mau berdiskusi dengan produser supaya karyanya bisa sampai ke masyarakat dan bisa dinikmati banyak orang.

Produser pun, menurut dia, harus tahu kepada siapa karya itu akan diperdengarkan dan terus menerima ide baru agar musik itu bisa dilempar ke media.

"Mengeksplorasi supaya lebih populis tanpa menghilangkan pakem," kata Dian.

Para pelaku industri musik, menurut dia, juga harus memikirkan cara agar keroncong dapat didengar oleh generasi yang lebih muda karena selama ini keroncong sering diidentikkan dengan musik untuk orang tua.


Sumber Bunyi


Ubiet mengatakan keroncong bisa menjadi sumber inspirasi bunyi bagi musisi non-keroncong di Indonesia. "Di dalam perubahan, pemusik harus menghidupkan kembali sumber yang ada di sekelilingnya," katanya.

Menjadikan keroncong sebagai sumber inspirasi dapat berarti memainkan keroncong sesuai dengan pakemnya atau membuat aransemen baru.

Pengajar seni musik tradisi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Anusirwan, yang juga pendiri Altajaru Ensemble, mengatakan musik merupakan sesuatu yang berada di alam dan bersifat lintas batas.

Ia mencontohkan Altajaru memadukan unsur keroncong dengan gambang kromong agar tidak ada pembagian bahwa instrumen daerah tertentu hanya untuk dimainkan sesuai dengan musik tradisional daerah itu.

Sementara pengajar seni musik di IKJ Raras Miranti berpendapat, meski pada akhirnya keroncong berkolaborasi dengan jenis musik atau media lain, masyarakat tetap harus mengenal keroncong yang asli.

"Kemasan modern, tapi pakem tidak hilang," katanya.

Para pegiat seni yakin dengan kekuatan keroncong untuk memberi inspirasi. "Saya optimis kekuatan keroncong akan jadi inspirasi yang tidak ada habisnya," kata Slamet.


Oleh Natisha Andarningtyas
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014