Jakarta (ANTARA News) - Setelah menunggu sekitar lima hari, Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan nama menteri yang akan bertugas selama lima tahun mendatang dalam "Kabinet Kerja".

Selama beberapa hari terakhir ini, Presiden Jokowi jika ditanya wartawan tentang kabinet yang akan disusunnya hanya berkata, "Tunggu satu dua hari mendatang". Bahkan ia dalam satu kesempatan menyatakan pengumuman kabinet itu bisa saja dilakukan di kawasan Tanjung Priok, Tanah Abang atau Pluit.

Pengumuman oleh mantan wali kota Solo itu ditunggu- tunggu di seluruh Tanah Air karena beberapa kali, dia selalu menjelaskan bahwa kabinetnya akan terdiri atas 34 orang.

Mereka terdiri atas 18 menteri dari kalangan profesional, dan sisanya sebanyak 16 orang dari kelompok partai politik pendukung Koalisi Indonesia Hebat, yang terdiri atas PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan juga PPP.

Pengumuman yang berlangsung di halaman Istana Kepresidenan itu membuktikan bahwa janji Kepala Negara itu tidak meleset.

Posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan dipercayakan kepada mantan kepala staf TNI Angkatan Laut Laksamana TNI Purnawirawan Tedjo Edhy, Menteri Pertahanan Jenderal Purnawirawan Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu yang merupakan menantu mantan wakil Presiden Jenderal TNI Try Sutrisno.

Kemudian, Menteri Koordinator Perekonomian dipercayakan pada Sofyan Djalil, yang merupakan mantan menteri BUMN. Sedangkan jabatan Menteri Koordinator Maritim diduduki oleh Profesor Indroyono Susilo yang merupakan putra dari mantan menteri politik dan keamanan Susilo Sudarman.

Jabatan Menko Maritim ini merupakan posisi baru karena Jokowi sangat menyadari betapa pentingnya instansi-instansi di bidang maritim atau kelautan dipimpin oleh seorang menko yang sudah sangat menguasai masalah ini seperti Indroyono yang sudah melanglangbuana di bidang ini.

Sementara itu, pengusaha Susi Pudjiatuti dipercaya menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.

Wajah baru lainnya di lingkungan kepresidenan adalah Yohana Susana yang ditunjuk Jokowi menjadi menteri pemberdayaan perempuan perlindungan anak.

Jika nama-nama itu diperhatikan dengan ditambah menteri-menteri lainya maka "Kabinet Kerja" ini bisa disebut sebagai kabinet yang "warna-warni" karena didukung oleh kaum profesional dan politisi yang berasal dari berbagai parpol, seperti Lukman Hakim Saifuddin yang tetap menjadi Menteri Agama.

Pengumuman tentang susunan kabinet ini sudah bisa dipastikan atau diduga bakal menimbulkan sikap pro atau kontra, yang tergantung dari pada posisi mana orang yang memberikan komentar terutama misalnya apakah pemberi komentar itu berasal dari Koalisi Merah Putih ataukah dari Koalisi Indonesia Hebat ataukah kelompok netral.


Politisi

Politisi dari Partai Golkar seperti Bambang Soesatyo misalnya mempertanyakan efektivitas dari "Kabinet Kerja" ini.

"Melihat jajaran kabinet yang baru ini, saya menjadi ragu apakah bisa berjalan sesuai harapan," kata Bambang Soesatyo yang dikenal di DPR sebagai wakil rakyat yang suaranya sering sekali "vokal".

Bambang misalnya bertanya-tanya mengapa politisi dari PDIP yang dinilainya berkinerja baik seperti Pramono Anung atau Eva Kusuma Sundari justru tidak duduk di kabinet untuk membantu Jokowi dan juga Kalla.

Sementara itu, mantan menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar sangat berharap penggantinya Yohana Susana yang merupakan seorang profesor dari Universtas Cendrawasih, Papua.

"Saya yakin bahwa beliau (Yohana .,red) sangat mampu," kata Linda yang merupakan istri mantan menteri perhubungan dan juga mantan menko polkam Agum Gumelar.

Sikap mendukung, menentang ataupun netral merupakan hal yang sangat wajar dalam menilai kabinet bentukan Jokowi dan Kalla itu. Kenapa netral?

Setiap orang seperti politisi, akademisi atau pengamat tentu mempunyai penilaian masing-masing terhadap duet Jokowi dan Kalla ini.

Jika politisi itu berasal dari Koalisi Indonesia Hebat bisa dipastikan mendukung kabinet baru ini. Sementara itu, jika orang mendengar atau mengkaji ucapan Bambang Soesatyo maka orang pun akan maklum karena Bambang berasal dari Koalisi Merah Putih yang tidak seiring dengan Presiden dan Wakil Presiden yang baru ini.

Lalu bagaimana sikap yang perlu diambil orang-orang awam atau masyarakat biasa?

Jokowi dan Kalla berhasil menang dalam Pemilihan Presiden pada 9 Juli 2014 dengan mengalahkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Sekalipun Prabowo mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi, ternyata lembaga negara di bidang hukum ini tetap saja mengesahkan kemenangan Jokowi dan Kalla.

Karena Jokowi- Kalla sudah menang baik di tps-tps maupun secara hukum di MK, maka adalah hal yang sangat wajar jika rakyat menaruh kepercayaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang baru ini.

Namun rakyat di seluruh Tanah Air harus terus memantau apakah pemimpin baru ini beserta menteri-menterinya akan melaksanakan semua janji mereka atau tidak.

Kalau seluruh atau minimal sebagian besar janji itu bis dipenuhi selama lima tahun mendatang, maka tentu pantas mereka dipuji atau diberi penghargaan. Namun sebaliknya jika mereka dianggap tidak berhasil maka tentu ada cara-cara untuk meminta pertanggungjawaban mereka.

Para menteri baru ini oleh Jokowi disyaratkan harus merupakan tokoh yang mampu di bidangnya masing-masing, jujur, kompeten serta memiliki kemampuan manajemen.

Rakyat di Tanah Air agaknya tidak akan bisa melupakan beberapa menteri pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono harus berurusan dengan aparat hukum karena diduga korupsi atau menerima sogokan yang bahasa halusnya adalah gratifikasi. Mereka itu adalah mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Alifian Mallarangeng dalam kasus Hambalang serta Surya Dharma Ali, mantan menteri agama dalam kasus dana haji, dan Menteri ESDM Jero Wacik dalam kasus tindak pidana korupsi di instansi tersebut.

Belum lagi nama mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yang terlibat dalam kasus pengadaan alat simulator SIM. Kemudian ada juga mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan juga mantan gubernur Riau Rusli Zainal serta sejumlah anggota DPR, DPRD dan para pejabat lainnya di lingkungan pemerintahan provinsi, kota dan kabupaten.

Jika para menteri baru itu betul-betul sadar bahwa mereka sedang mendapat amanah mulai dari Tuhan YME, Jokowi-Kalla hingga rakyat maka tentu tidak seharusnya mereka melakukan tindakan- tindakan kotor.

Akan tetapi jika rakyat nantinya melihat ada lagi menteri, gubernur dan pejabat pejabat lainnya yang harus dimasukkan ke bui maka masyarakat hanya bisa sampai kepada kesimpulan bahwa para pejabat itu masuk ke pemerintahan hanya untuk mencari uang atau menggerogoti uang negara.

Karena itu, sekalipun Jokowi dan Kalla sudah memilih menteri- menteri yang dinilai memiliki kemampuan dan jujur, maka para bawahan itu harus tetap diawasi secara ketat dan terus-menerus.

Namun, tugas yang amat mulia itu tidak bisa hanya dipercayakan pada aparat penegak hukum termasuk KPK, tetapi juga masyarakat secara luas.

Oleh Arnaz Firman
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014