Yogyakarta (ANTARA News) - Suatu pagi di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, puluhan Jeep warna-warni dengan kap terbuka berjajar rapih.

Didampingi Sang Juru Mudi yang juga merangkap pemandu wisata, Jeep-Jeep itu sedang menunggu wisatawan yang datang hendak menikmati pesona lereng Merapi.

Berlima atau maksimal berenam, Jeep itu mengangkut wisatawan yang penasaran dengan garangnya Merapi yang sempat mengamuk 2010 silam.

Satu Jeep, ditarif seharga Rp250.000 untuk paket standar dan Rp450.000 untuk paket jauh.

Rute paket standar menempuh jarak sekitar 20 kilometer selama kurang lebih satu jam. Rombongan diajak menyusuri dusun-dusun yang kini rata dengan tanah akibat erupsi, salah satunya Dusun Petung tempat Museum Mini Sisa Hartaku berada.

Di museum itu, tersaji berbagai barang rumah tangga yang terkena dampak lelehan lahar maupun awan panas Merapi milik warga sekitar.

Peralatan masak hingga koleksi kaset dan peralatan dapur yang rusak dan menghitam dipamerkan, penuh nilai sentimentil dan nestapa.

Sayang, banyak pemandangan kurang pas terlihat di museum yang seharusnya menjadi pengingat dahsyatnya bencana luapan Merapi itu.

Alih-alih menampakan simpati atau bahkan memberi donasi, kebanyakan wisatawan malah asyik berpose di sudut-sudut museum yang sebenarnya bekas rumah penduduk. Wisatawan selfie di dekat bangkai motor atau belulang hewan ternak.

Haryanto (28), pengemudi Jeep yang juga korban Merapi mengaku tak keberatan jika wisatawan tak berempati pada kepedihannya yang sudah dua kali kehilangan rumah.

"Asal mereka senang dan terus datang, tak apa-apa," kata Haryanto.

Setelah itu, sambil menyusuri Kali Opak, wisatawan diajak menengok Bunker di Dusun Kaliadem yang adalah ruang bawah tanah untuk berlindung dari awan panas, namun pada 2006, dua orang tewas di dalam bunker akibat terjebak lahar panas.

Sementara, untuk paket jauh, jarak yang ditempuh sekitar 30 kilometer dengan menelusuri Bronggang, Argomulyo letak Kali Gendol yang sudah dikeruk pasirnya. Kemudian wisatawan juga akan dibawa berziarah ke makam Mbah Maridjan di Srunen, Glagaharjo, lalu kembali ke Taman Wisata Kaliurang.

Selain terjalnya jalur yang dilalui, tantangan lain dalam wisata ini adalah tebalnya debu vulkanik yang harus dihadapi selama berkendara.

Belum lagi jika harus berpapasan dengan truk-truk besar pengangkut pasir, maka siap-siaplah tebaran debu dan pasir halus akan menyapu wajah dan sekujur badan.

Wisata Jeep berkembang pascaerupsi Merapi 2010.

Sang pemandu wisata, Haryanto mengaku, meski Merapi telah merenggut rumahnya dua kali dan memaksanya pindah ke penampungan setelah itu, dia dan keluarganya justru merasa lebih gampang mencari nafkah setelah amukan Merapi itu terjadi.

"Dulu saya cuma kerja serabutan, kalau enggak angon sapi ya jadi buruh bangunan, lalu Merapi meletus, orang-orang di sini malah seneng karena jadi lebih gampang cari uang, ada yang nambang pasir, ada yang jadi tukang ojeg," kata Haryanto yang awalnya menjadi tukang ojeg sambil terus mengumpulkan uang untuk kembali membangun rumah dan menata kehidupan.

"Dibantu pemerintah, ada Rp30 juta untuk bangun rumah, itu belum sama tanah, lalu karena banyak yang mau lihat ke sini, saya akhirnya ngojek dan ngumpulin uang untuk tambah-tambah bangun rumah di bawah, sisanya saya kumpulin lagi buat beli Jeep ini, harganya dulu Rp35 jutaan," katanya.

Modal itu cepat kembali, mengingat dalam sehari Haryanto dan kawan-kawan mampu mengangkut hingga lima kali wisatawan, pada hari-hari ramai.

"Dulu di sini cuma ada 10 Jeep, sekarang bahkan ada 150-an Jeep saking ramainya," katanya.

Seperti mural yang tertulis di dinding museum, "Merapi memang tak pernah ingkar janji", petakanya datang tiba-tiba sebagaimana berkah yang didatangkannya.

Dengan tumbuhnya wisata di Merapi, perekonomian rakyat setempat pun ikut bergeliat.

Warung-warung bermunculan seiring dengan pesatnya pertumbuhan toilet umum pada sentra-sentra wisata atau pengerukan pasir Merapi yang katanya satu rit dihargai Rp400 ribu dan bisa dijual kembali seharga Rp1 juta per rit.

Siklus erupsi Merapi yang empat tahunan itu, menurut penduduk lokal sudah terjadi pada 2014 ini, letupan kecil terjadi sekitar Mei lalu.

"Biasanya kalau sebelumnya sudah pernah erupsi besar, maka tak akan terjadi lagi hingga lebih dari 20 tahun ke depan," kata Haryanto.




Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014