Ada frasa menarik sekaligus penting yang disampaikan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat mengisi kuliah umum mahasiswa Program Pascasarjana (PPs) Unnes, medio September lalu.

Ia memunculkan “ketahanan pendidikan” sebagai salah satu agenda pemerintah bersama perguruan tinggi.

Frasa “ketahanan pendidikan” menjadi penting untuk diuraikan karena menyangkut persoalan mendasar, yakni pendidikan kita. Kita pernah mengadaptasi pendidikan khas Hindu-Budha pada era kerajaan-kerajaan Nusantara.

Akibat kolonialisasi, kita kemudian mengadaptasi model pendidikan Eropa. Kini, ketika mondialisme menjadi faham baru dunia, gagasan pendidikan kita banyak dipengaruhi Amerika.

Dominasi faham pendidikan asing membuat kita kerap abai pada karakteristik pendidikan Indonesia.

Padahal, idealnya, pendidikan harus berkembang dari buminya masyarakat Indonesia. Artinya, pendidikan Indonesia harus ditumbuhkan dari semangat dan tradisi ke-Indonesiaan-an.

Nuh (2013) menyampaikan, dalam dunia pendidikan, manusia adalah pemeran utamanya, sebagai subjek sekaligus objek.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, manusia yang dimaksud adalah manusia Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan Indonesia pertama-tama harus dilakukan dengan mengenali karakter, potensi, dan ekspektasi manusia Indonesia.

Segitiga Masa Depan
Merumuskan pendidikan sama kompleksnya dengan merumsukan masa depan sebuah bangsa. Kesulitan ini telah coba diatasi dengan meramalkan masa depan yang mungkin (possible future) bagi bangsa kita.

Futurolog Suhail Inayatullah membuat segitiga makna untuk meramalkannya. Menurutnya, possible future terbentuk atas tarikan tiga hal, yakni beban sejarah, kondisi aktual masa kini, serta cita-cita masa depan.

Tentang “beban sejarah”, dua hal yang perlu menjadi ingatan kolektif  bangsa kita adalah kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara.

Masa keemasan Sriwijaya dan Majapahit memberi energi glorifikasi. Bangsa kita secara genetis, ternyata mewarisi tradisi berpikir dan bertindak sebagai bangsa yang besar. Itu kenangan yang perlu dipelihara selama dapat menumbuhkan optimism.

Meski demikian, dari masa kerajaan-kerajaan Nusantara itu pula kita dapat belajar, pertikaian telah membawa bencana besar, yakni keruntuhan. Peradaban unggul yang dibangun dari tahun ke tahun dengan energi yang tidak sedikit, dapat lenyap begitu saja oleh peperangan.

Adapun peperangan, hampir selalu bermula dari keserakahan dan kesalahpahaman.

Pada era kolonial, kita belajar bahwa keberkahan berupa kekayaan sumber daya alam tidak selalu membawa kebaikan bagi bangsa kita.

Tanpa ilmu pengetahuan dan kearifan, kekayaan alam justru menjadi bencana. Kedatangan bangas Eropa ke Nusantara dimulai ketika mereka tertarik memperdagangkan komoditas khas Nusantara. Hubungan niaga berubah menjadi kolonialisasi yang berlangsung beberapa abad.

Kini, energi bangsa kita terkuras untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang demokratis.

Kendala terbesarnya adalah korupsi. Penyakit moral yang akut ini memorak-porandakan optimisme publik agar menjadi bangsa yang berkeadilan.

Di era mutakhir ini, tantangan kita jelas, yakni mewujudkan kehidupan berbangsa yang aman, sejahtera, dan berkeadilan.

Sementara itu, kita juga mulai menyiapkan diri menyiapkan masa depan Indonesia. Pendidikan adalah alat paling ampuh, untuk mewujdukan masa depan Indonesia seperti yang dicita-citakan.

Ada sejumlah asumsi optimistik yang kini dapat mulai dibaca. Menurut data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa.

Kelak pada 2045, mereka yang usia 0-9 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20 tahun berusia 45-54.

Pada usia-usia itu mereka akan memegang peran di Indonesia tercinta. Mereka diharapkan akan menjadi generasi yang cerdas komprehensif, antara lain produktif, inovatif, damai dalam interaksi sosialnya, sehat dan menyehatkan dalam interaksi alamnya, dan berperadaban unggul.

Mereka akan menjadi generasi emas yang sekaligus juga menjadi pemimpin bangsa.

Dengan menghitung potensi kuantitas manusia Indonesia –yang ada di posisi ke-4 dalam daftar negara dengan populasi tertinggi– dan sisa potensi kekayaan alamnya, lembaga survey internasional Goldman Sach memprediksi Indonesia akan berada dalam 10 besar negara dengan ekonomi termaju di tahun 2050 bersama China, India dan masih di atas Jepang maupun Korea Selatan.

Suatu posisi yang optimistik, yang tentu saja mungkin tercapai bila Indonesia memiliki pemimpin berkualitas dan sumber daya manusia yang secara kuantitatif besar sekaligus berkualitas.

Pemimpin Indonesia di masa depan memiliki tugas yang berat dikarenakan banyaknya permasalahan yang bersifat paradoksal; misalnya Indonesia adalah besar jumlah penduduknya tetapi kecil kemandiriannya, Indonesia adalah luas wilayahnya tetapi sempit penguasaan teknologi transportasinya, Indonesia adalah kaya sumber daya alamnya tetapi miskin dalam perekonomiannya, dan sebagainya (Supriyoko 2012).

Salah satu syarat menjadi pemimpin bangsa Indonesia di masa depan adalah memiliki karakter yang baik.

Itulah sebabnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan gencar menyelenggarakan pendidikan karakter bagi peserta didik di semua satuan pendidikan; karena merekalah yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa.

Investasi sumber daya manusia dikatakan gagal apabila tidak mampu mencetak insan yang berkarakter. Tujuan jangka panjang pendidikan adalah mencetak dan menyiapkan peserta didik menjadi insan yang cerdas, beriman, dan berakhlak mulia.

Di atas semua atribut kecerdasan, harus dibangun fondasi “akhlak mulia dan karakter” karena memang pendidikan itu memiliki tujuan utama “character formation” seperti halnya disampaikan seorang filsuf Inggris Helberth Specer.

Pendidikan dikatakan gagal apabila tidak mampu membangun karakter peserta didiknya. Kecerdasan akan menjadi “bencana” apabila tidak diikuti karakter – kejujuran dan integritas – yang kuat. Memang pendidikan harus dilihat dalam konteks luas, mencakupI pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat dan pendidikan formal melalui sekolah.

Untuk itu, momentum yang sangat strategis ini harus kita manfaatkan dengan baik dengan menyiapkan generasi menuju 2045, yaitu pada saat 100 tahun Indonesia merdeka.

Pendidikan Indonesia

Dengan kondisi demikian, faham pendidikan seperti apakah yang tepat dijadikan alat menyambut Indonesia masa depan? Negara-negara maju seperti Amerika, Jerman, dan Jepang kini memang sedang menikmati masa sejahtera. Mereka berhasil memimpin dunia dalam dialektika ilmu pengetahuan, kebudayaan, ekonomi, bahkan politik.

Namun, apa yang mereka nikmati kini merupakan hasil atas investasi pendidikan beberapa dekade yang lalu. Jika hari ini merujuk pada mereka hari ini, mereka telah menyiapkan diri untuk beberapa dekade mendatang. Oleh karena itu, gagasan besar tentang pendidikan Indonesia harus segera ditemukan.

Beberapa tahun lampau, Barat memperkenalkan konsep kecerdasan ganda (multiple intelegence). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa kecerdasan manusia merupakan gabungan atas sejumlah tipe kecerdasan. Ada kecerdasan sosial, kecerdasan matematis, linguis, auditoris, dan bisa jadi lebih banyak lagi rinciannya.

Apakah itu relevan dengan sejarah dan ekspektasi masa depan bangsa kita? Untuk menjawabnya, kita bisa bandingkan dengan kata Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak.  Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita.”

Selain itu, positivisme Barat hampir selalu menempatkan dua hal secara biner. Dua hal yang berbeda dinilai berseberangan dan saling menegasikan  Relasi demikian tidak selalu tepat digunakan dalam dunia pikir bangsa kita. Sebab, secara kolektif, bangsa kita senantiasa mendambakan dua hal dapat bersanding dalam keharmonisan.

Dengan latar belakang kondisi demikian, bangsa Indonesia memiliki pekerjaan besar menemukan karakter pendidikan  Indonesia. Pekerjaan ini jadi sangat penting karena pendidikan kian diharapkan  jadi solusi berbagai persoalan bangsa.

 *)Prof Dr Fathur Rokhman MHum, Rektor Universitas Negeri Semarang

(Informasi ini disampaikan dengan dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)

Pewarta: Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum*)
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2014