Permodalan usaha tani masih menjadi masalah, terutama sulitnya akses petani terhadap lembaga permodolan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lahan milik petani tidak dapat dijadikan agunan bank, mengingat mayoritasnya belum bersertifikat,"
Jakarta (ANTARA News) - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia mengusulkan pembentukan bank khusus untuk petani yang akan beroperasi sesuai dengan siklus dan habitat petani.

Anggota HKTI Sadar Subagyo saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Rabu, menilai saat ini bank-bank umum belum bisa mengakomodasi kebutuhan petani.

"Permodalan usaha tani masih menjadi masalah, terutama sulitnya akses petani terhadap lembaga permodolan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lahan milik petani tidak dapat dijadikan agunan bank, mengingat mayoritasnya belum bersertifikat," kata Sadar.

Oleh karena itu, lanjut Sadar, petani perlu didukung dengan lembaga pembiayaan yang khusus. Bank khusus ini akan difokuskan untuk menyediakan pembiayaan kepada petani.

Sadar mengatakan, selama ini, peran bank umum tidak bisa diandalkan sebagai penopang usaha petani. Selain bunga tinggi, persyaratan mendapatkan pinjaman juga tidak mudah.

"Kalau petani mengajukan pinjaman kredit ke BRI, BNI, Bank Mandiri atau bank manapun, syaratnya berat. Belum lagi dengan kewajiban pembayaran yang harus dicicil setiap bulan. Panen saja belum mulai, tetapi disuruh mengangsur cicilan pinjaman," ujar Sadar.

Sadar mengatakan harus ada bank tani yang memang secara khusus beroperasi sesuai dengan siklus dan habitat petani.

"Kasih pinjaman dan pengembalian pinjaman dalam jangka waktu yang lama," kata Sadar.

Ia menegaskan, HKTI bersama DPR mendesak pemerintah agar melakukan sertifikasi lahan-lahan pertanian tanpa memungut biaya ke petani. Sertifikasi ini harus selesai dalam waktu paling lama pada 2015.

Menurut Sadar, upaya percepatan sertifikasi lahan petani oleh pemerintah merupakan solusi paling logis bagi petani terkait permodalan. Selain itu, upaya tersebut juga memberikan kepastian status kepemilikan lahan dan ketenangan batin bagi petani dalam melaksanakan usaha taninya.

Lebih lanjut ia menilai kondisi petani Indonesia juga memprihatinkan. Selain lahan pertanian yang semakin sempit, keinginan mendapatkan benih dan pupuk juga sulit.

Bahkan ketika panen, harga jatuh karena pada saat bersamaan ada impor komoditas yang sama saat panen.

"Mau panen bawah merah, ada impor. Akibatnya, harga bawang jatuh. Penderitaan petani sangat panjang. Padahal, tugas pemerintah untuk memakmurkan petani," kata Sadar.

Untuk itu, HKTI meminta DPR mendesak dan mendorong pemerintah mengembalikan Nilai Tukar Petani (NTP) ke angka 132 yang cenderung menurun dari tahun ke tahun. Rata-rata 3 bulan terakhir, NTP berada di 102. Langkah tersebut diyakini akan membuat petani Indonesia makmur.

"Rata-rata NTP pada 2001 adalah 132. Artinya, pendapatan petani 132, pengelurannya 100. Masih bisa menabung 32. Sekarang 2014, NTP hanya 102," ujar Sadar.

Demikian juga dengan usaha tani, khususnya tanaman pangan utama, yang menjadi tidak menarik lagi. Jumlah rumah tanga yang menanam padi pada 2003 sejumlah 14,2 juta dan pada 2013 turun menjadi 14,1 juta.

Begitu pula dengan rumah tanga yang menanam jagung turun dari 6,4 juta di 2003 menjadi 51,1 juta di 2013. Hal itu menjadi lampu merah buat bangsa Indonesia.

"Kalau generasi muda enggan bertani, jebakan pangan di depan mata. Untuk itu, HKTI meminta DPR mendesak pemerintah agar melakukan reformasi total dalam usaha tani tanaman pangan utama sehingga dalam 5 tahun ke depan NTP dapat meningkat signifikan melebihi NTP 2001 sebesar 132," kata Sadar.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014