Walaupun sampai langit runtuh, hukum harus ditegakkan, dan kami tetap menagih janji...
"Ke dalam tanganmu-Mu, aku serahkan dia yang menembak Wawan," kata Sumarsih saat berdoa untuk putranya Norma Irmawan (Wawan) yang tewas tertembak dalam Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.

Ia memegang erat foto buah hatinya yang telah disiapkan di depan spanduk yang bertulisan tangan "16 Tahun Tragedi Semanggi Hapus Impunitas Jokowi JK Kerja".

Sumarsih hanya tersenyum sambil menunjukkan potret Wawan dalam bingkai kayu saat para juru foto membidikkan lensa kamera ke arahnya.

"Wawan sudah ada di hati saya," katanya ketika seorang juru foto berteriak "Ibu, fotonya dicium dong..." sambil siaga menekan tombol shutter kamera.

Siang itu, Sumarsih berkumpul di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta bersama puluhan mahasiswa, aktivis lembaga masyarakat, serta orangtua korban untuk memperingati 16 tahun Tragedi Semanggi I, dan menagih janji pemerintah untuk menuntaskan pengusutan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.

"Sudah 16 tahun, masih belum ada perkembangan untuk penyelesaian," kata Sumarsih.

Dia berharap Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mewujudkan janji dan komitmen mereka untuk menuntaskan proses hukum terkait kasus tersebut.

"Mereka katanya akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk Semanggi I dan II," jelas Sumarsih.

Pemerintahan yang baru, ia melanjutkan, juga menyampaikan komitmen untuk menghapus impunitas di semua sistem hukum Indonesia.

"Tapi, saya belum mendengar kata-kata langsung Pak Jokowi, langkah ke depannya seperti apa," katanya.

Bersama orangtua korban lain yang kini tergabung dalam Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan, Sumarsih masih menunggu para pemimpin mewujudkan janji mereka.

"Selama ini tidak pernah ada pihak yang mengakui menembak Wawan, bahkan ketika kami menuntut penyelesaian kasus di pengadilan, itu tidak pernah terwujud," katanya.


Taburan Bunga 

"Saya yakin, Wawan sudah di Surga," kata Sumarsih dengan tangan menggenggam.

Bunga-bunga pun kemudian ditaburkan ke potret Wawan dengan iringan lantunan lagu Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki.

"Betapa hatiku takkan pilu... telah gugur pahlawanku... Betapa hatiku takkan sedih... hamba ditinggal sendiri...," demikian lantunan seorang mahasiswa lewat pengeras suaranya.

"Aksi ini merupakan upaya menagih janji dari pemerintah Pak Jokowi," kata koordinator aksi Alreza Fahlevi.

Alreza mengatakan Presiden Joko Widodo ketika kampanye berjanji akan menyelesaikan pengusutan kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut dia, sampai sekarang proses hukum kasus Semanggi I dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya terhenti di Kejaksaan Agung dengan alasan pelaku sudah diadili di Pengadilan Militer.

"Itu bukan alasan yang jelas dan bisa menyesatkan masyarakat karena itu peristiwa kejahatan kemanusiaan," katanya.

Kasus-kasus itu, menurut dia, hanya bisa diselesaikan lewat pengadilan hak asasi manusia (HAM).

"Kita desak pemerintah agar segera membentuk Pengadilan HAM untuk menuntaskan Semanggi I dan II," katanya menggebu.


Melawan Impunitas

"Pak Jokowi menyebutkan secara tegas akan mengembalikan wibawa negara, salah satu yang merusak wibawa bangsa itu adalah kejahatan HAM dan impunitas," kata Kepala Divisi Melawan Impunitas KontraS Feri Kusuma yang hadir dalam aksi itu.

Dia mengatakan pemerintah selalu menyebut Indonesia sebagai negara hukum dan hukum sebagai panglima namun kenyataanya tidak ditegakkan. Keadaan itu menurut dia harus segera diubah.

"Hal ini berpotensi (menyebabkan) kejahatan HAM akan berulang karena tidak ada efek jera bagi pelaku," katanya.

Ia lantas menuturkan bahwa dalam kasus Tragedi Semanggi I, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah menyelesaikan penyelidikan projustisia berdasarkan Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan kini tinggal menunggu proses selanjutnya dari Kejaksaan Agung.

"Sekarang tinggal sejauh mana tindakan Kejaksaan Agung menindaklanjuti ke tingkat penyidikan," tambah Feri.

Ia juga berharap Presiden Joko Widodo menunjuk orang yang berkomitmen kuat menuntaskan pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM untuk menjabat sebagai Jaksa Agung.

Namun dia mengaku telah menurunkan harapannya melihat kemungkinan adanya kelompok politik, pemodal dan pelanggar hak asasi manusia yang punya kekuatan besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

"Ketika Jokowi dilantik menjadi presiden kami melihat dia mampu tapi sekarang harapan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM itu hanya 70 persen," kata Feri.

Sementara Asih Widodo, orangtua korban penembakan yang bernama Sigit Prasetyo, mengatakan bahwa penuntasan pengusutan kasus Semanggi I sebenarnya tidak sulit.

"Sebetulnya kasus Semanggi I itu mudah kok, tapi apakah Presiden punya keberanian atau tidak," katanya.

Sumarsih, Asih dan para aktivis akan terus memperjuangkan keadilan bagi mereka yang menjadi korban selama aksi protes untuk menolak Sidang Istimewa serta menentang dwifungsi ABRI pada 11-13 November 1998.

Pada 13 November 1998, massa yang menginginkan perubahan menduduki daerah Semanggi dan bentrokan terjadi ketika aparat berusaha membubarkan massa secara paksa, menyebabkan beberapa ratus orang terluka dan sejumlah orang meninggal dunia.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 30 November 1998 mencatat bahwa penyebab kematian 11 orang korban, yang terdiri atas mahasiswa maupun masyarakat, dalam penembakan di Semanggi adalah tembakan aparat.

Kini, 16 tahun setelah peristiwa itu, keluarga korban masih menunggu janji pemerintah untuk mengadili orang-orang yang menyebabkan anggota keluarga mereka terbunuh.

"Menembak monyet di Kalimantan dihukum lima tahun, masak menembak anak saya tidak dihukum," kata Asih dengan nada meninggi.

"Walaupun sampai langit runtuh, hukum harus ditegakkan, dan kami tetap menagih janji," demikian Asih Widodo.


Oleh Sigid Kurniawan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014