Bogor (ANTARA News) - Komoditas perkebunan rakyat Indonesia salah satunya adalah kelapa sawit, namun perkebunan tersebut masih dibayangi berbagai macam isu, banyak tumpang tindih tata ruang, banyaknya kebun sawit di kawasan hutan, banyak kebun sawit di lahan gambut, persoalan agaria (kepemilikan lahan), penguasaan modal asing, proporsi perkebunan estate dan rakyat, segala persoalan tersebut dibahas dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Fakultas Pertanian IPB di Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu.

Dekan Fakultas Pertanian IPB, Dr Ernan Rustiadi mengatakan politik Indonesia saat ini memberikan perhatian yang besar untuk dikembangkannya perkebunan sawit rakyat dan banyak pandangan yang ingin mengurangi porsi penguasaan sawit oleh pihak asing atau korporasi besar.

"Persoalan politik perdagangan global, suka tidak suka persoalan sawit sulit untuk kita tutup mata kalau tidak dikaitkan dengan politik perdagangan," kata Ernan dalam seminar yang mengangkat tema "Kelapa Sawit Pengembangan Produksi Kelapa Sawit Rakyat melalui Pembinaan Petani Swadaya"

Ernan menyebutkan, banyak negara yang terancam dan tersaingi dengan semakin kompetitifnya minyak sawit Indonesia. Produksi sawit dalam negeri yang mencapai 3,5 juta ton per hektar per tahun. Tidak ada minya nabati lainnya yang bisa menandingi.

"Oleh karena itu banyak upaya untuk membatasi masuknya ekspor produk sawit dari kita (Indonesia-red)," ujar Ernan.

Lebih lanjut Ernan mengatakan, sistem pertanian kelapa sawit adalah yang terluas dalam mengokupasi lahan pertanian di Indonesia. Sawit telah mencapai 10 juta hektar, jauh melampaui luas sawah yang luasnya terus menurun yakni di bawah delapan juta hektar dari hasil proses keseimbangan yang panjang.

"Persoalan lainnya adalah teknologi. Menurut pakar sawit IPB, potensi sawit masih besar. Saat ini produksi sawit masih di bawah yang sebenarnya bisa dihasilkan," ujar Ernan.

"Selain itu, biomassa yang belum termanfaatkan dari limbah sawit masih luar biasa. Ini suatu sumber pertumbuhan baru yang kami bayangkan akan sangat besar. Oleh karenanya perlu ada perhatian khusus tentang pentingnya pemberdayaan petani sawit swadaya," kata Ernan menambahkan.

Joko Supriono Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan, persoalan sawit lainnya yang dihadapi oleh para petani yakni ongkos produksi.

Ia mengungkapkan, perusahaan membeli Tandan Buah Segar (TBS) itu di pabrik, ongkos transport 200 rupiah per kilo, petani cuma menikmati harga separo karena habis untuk transport belum lagi bicara tengkulak yang mencapai tiga tingkat.

"Ada yang namanya tukang galas (tengkulak level satu) pengumpul level 2 dan level 3 yang bawa tronton 30 ton dengan jarak tempuh 100-200 kilometer. Anda bisa bayangkan margin petani habis di situ. Padahal 43 persen dari total luas kelapa sawit adalah milik petani swadaya. Jika hasil dari petani tidak dibeli oleh perusahaan apa yang akan terjadi? bahkan salah satu petani mengatakan kalau perusahaan tidak mau beli maka pabrik akan dibakar," katanya.

Ia menambahkan, salah satu kelemahan petani adalah tidak ada bank yang membiayai kebun swadaya, revitalisasi perkebunan itu tidak jalan.

"Kalau perusahaan mau membantu sebenarnya konteksnya adalah CSR, itu pun selama tidak ada kepastian dalam pemasaran maka tidak akan sukses," ujarnya.

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014