Bandarlampung (ANTARA News) - Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla memilih untuk tidak melanjutkan proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) dengan sejumlah pertimbangan, seperti mega proyek itu akan mematikan ciri khas Indonesia sebagai negara maritim, dan tentu akan memicu ketimpangan pembangunan antara wilayah Indonesia bagian barat dan bagian timur.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago menyebutkan ada tiga pertimbangan kenapa pemerintah tidak memprioritaskan pembangunan JSS. Pertama, pembangunan JSS tidak sesuai dengan visi misi maritim Jokowi. Kedua, dengan anggaran sangat besar maka JSS akan membuat ekonomi makin tersentralisasi di Jawa dan Sumatera. Ketiga, pembangunan JSS dapat membuat harga properti semakin mahal di Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda.

"Kita juga harus menghilangkan paradoks dalam merencanakan proyek-proyek pembangunan. Katanya mau pemerataan, tapi malah bikin mega proyek yang mensentralisasikan ekonomi," ujar dia.

Ia mengatakan, setelah pembangunan di kawasan Indonesia bagian timur terealisasi, seperti Jembatan Soekarno di Sulawesi dan kawasan industri di Kalimantan, rencana pembangunan JSS baru dapat dijajaki kembali.

Waktunya kira- kira sekitar 10-15 tahun dari sekarang.

Argumentasi JSS mematikan ciri khas kemaritiman Indonesia masih bisa diperdebatkan, namun ketimpangan pembangunan memang hal tidak terelakkan karena Sumatera dan Jawa merupakan pusat perekonomian Indonesia.

Dibangun tidaknya JSS, sentra perekonomian Indonesia tetap di Jawa dan Sumatera.

Memang ada perkiraan sejumlah kalangan bahwa dampak pembangunan JSS berbiaya sekitar Rp250 trilun itu akan mampu meningkatkan

perekonomian Indonesia hingga 80 persen, mengingat Sumatera dan Jawa merupakan daerah berpenduduk terbesar dengan infrastruktur dan kandungan sumber daya alamnya yang besar pula.

Menjelang berakhirnya era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, nasib JSS tak kunjung jelas meski rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda.

Pembangunan JSS makin mengambang ketika Menko Perekonomian Chairul Tanjung di era pemerintahan Presiden SBY, mengeluarkan gagasan pembangunan "jembatan laut" untuk menghubungkan Merak-Bakauheni dalam upaya memperlancar arus penyeberangan barang dan manusia.

Gagasan serupa untuk "memperpendek" jarak tempuh Sumatera dan Jawa dengan memperluas areal pelabuhan dan menambah jumlah kapal penyeberangan sebenarnya sudah pernah dilontarkan mantan Kepala ASDP Cabang Bakauheni, Yanus Lantenga.

Ketika berlangsung arus mudik Lebaran 2011 dan saat itu rencana mewujudkan pembangunan JSS memang sedang menguat, ia menyatakan lebih memilih perluasan kawasan dan perbaikan infrastruktur Pelabuhan Bakauheni dan Merak, serta memperbanyak jumlah kapal feri yang melayani arus penyeberangan dari Merak ke Bakauheni atau sebaliknya, daripada membangun JSS.

"Meningkatkan kapasitas pelabuhan penyeberangan, yakni memperluas areal pelabuhan, menambah jumlah dermaga dan kapal penyeberangan, memperbaiki insfratruktur dan fasilitas lainnya, biayanya jauh lebih murah dibandingkan dengan membangun JSS. Hasilnya pun lebih cepat dirasakan masyarakat karena waktu pembangunannya tidak panjang," kata Yanus, yang kini menjabat sebagai Kepala ASDP Cabang Merak itu.

Biaya pembangunan JSS diperkirakan berkisar Rp250 triliun sampai Rp300 triliun. Padahal, menurut dia, untuk meningkatkan kawasan Pelabuhan Merak dan Bakauheni dengan biaya hanya sebesar 10 persen dari total anggaran JSS, masalah kemacetan dalam penyeberangan barang dan manusia di ruas Merak-Bakauheni sudah bisa teratasi.

Ia memperkirakan dengan biaya sekitar Rp25 triliun sampai Rp30 triliun, sudah bisa dibangun sedikitnya 10 dermaga baru di masing-masing pelabuhan penyeberangan di Bakauheni dan Merak, dibeli kapal-kapal feri baru berdaya angkut besar, dan infrastruktur dan fasilitas penunjang lainnya dibangun di kedua pelabuhan tersebut.

"Biaya penyeberangannya pun lebih murah. Bagi masyarakat butuh biaya penyeberangan yang terjangkau, namun tak mengabaikan faktor keselamatan. Semakin besar biaya investasi, tentu tarif makin mahal. Persyaratan penyeberangan juga tidak perlu rumit dengan meningkatkan kapasitas pelabuhan. Kalau JSS dibangun dengan biaya ratusan triliun rupiah, berapa tarif penyeberangannya. Selain itu, apakah jembatan itu bisa diakses semua kendaraan, bagaimana dampak Gunung Anak Krakatau dan faktor ekologi lainnya atas jembatan itu," katanya.

Karena itu, ia menyebutkan lebih baik jika pemerintah mengembangkan Pelabuhan Bakauheni dan Merak, termasuk meremajakan kapal-kapal penyeberangan yang beroperasi di kedua pelabuhan tersebut.


Memperpendek Jarak

"Jarak" Sumatera dan Jawa melalui Pelabuhan Merak dan Bakauheni di era reformasi terasa semakin jauh. Waktu tempuh pelayaran kapal feri dari Bakauhenie ke Merak tak bisa lagi hanya berkisar 1,5-2 jam, kini berkisar 3-4 jam, bahkan kerap lebih lama lagi. Ketika kapal penumpang cepat masih dioperasikan di rute Merak- Bakauheni, waktu tempuh pelayarannya hanya sekitar 30 menit.

Padahal, jarak Sumatera dan Jawa harus "diperpendek" atau dipercepat konektivitas Sumatera dan Jawa untuk mendorong daya saing Indonesia bertumbuh di kawasan regional.

Kapasitas Pelabuhan Merak dan Banten sebagai pelabuhan penyeberangan memang sudah mendesak untuk ditingkatkan, karena pertumbuhan perekonomian di Sumatera dan Jawa yang juga meningkat pesat setiap tahunnya. Arus penyeberangan melalui kedua pelabuhan itu tergolong sangat padat, dan puluhan ribu manusia dan kendaraan diseberangkan setiap harinya melalui Merak dan Bakauheni.

Penumpukan kendaraan juga kerap terjadi di Merak dan Bakauheni dengan sejumlah penyebab klasik, seperti terjadi peningkatan arus pengiriman barang, pembludakan arus penumpang manusia, terjadi kerusakan dermaga atau kapal ferik, serta waktu pelayaran makin panjang karena faktor cuaca dan gelombang di Selat Sunda bagian selatan.

Waktu penyeberangan makin lama disebabkan sejumlah hal, terutama faktor kapal feri harus "ngetem" lama di tengah laut untuk menunggu giliran bersandar di dermaga pelabuhan,

Dari lima dermaga masing-masing di Pelabuhan Merak dan Bakauheni kadang dioperasikan hanya tiga dermaga saja. Selain itu, kita tidak ada lagi feri yang khusus mengangkut truk melalui dermaga tertentu. Penumpang pejalan kaki, kendaraan pribadi, bus dan mobil pribadi bercampur aduk dalam satu kapal feri.

Menurut sejumlah pengguna jasa feri yang kerap berlayar di rute Merak-Bakauheni, waktu tempuh pelayaran harus dipercepat sebagai solusi jangka pendek untuk memperpendek waktu lalu lintas barang dan manusia.

Terkait itu, mereka menyebutkan waktu bongkar muat isi kapal juga dipercepat, jumlah dermaga yang beroperasi setiap harinya diperbanyak, dan kapal-kapal feri diremajakan dengan kapal baru berdaya angkut besar. Jumlah kapal yang beroperasi di rute Merak-Bakauheni tahun lalu mencapai 42 unit, dan umumnya kapal-kapal tua.

Dari lima dermaga di Pelabuhan Bakauheni, hanya tiga dermaga yang rutin dioperasikan setiap harinya. Penggunaan dermaga kelima dan keenam disesuaikan dengan kondisi penumpang. Sedang jumlah kapal feri yang dioperasikan rata-rata 18 kapal sehari, dan bisa mencapai 25 kapal dalam kondisi khusus, seperti terjadi ledakan jumlah penumpang.

"Bagi saya, pengembangan kawasan pelabuhan dan peremajaan kapal lebih nyata sebagai solusi untuk memperpendek jarak Jawa dan Sumatera, daripada membangun JSS. Jika JSS, bagaimana faktor keselamatan, penguasaan teknologi dan pemeliharannya," kata Agus Setyawan, salah satu warga Lampung yang kerap menyeberang di rute Bakauheni-Merak.

Saat ini, kondisi Pelabuhan Merak dan Bakauheni dan sarananya harus diperbaharui untuk mengimbangi peningkatan lalu lintas barang dan manusia Sumatera dan Jawa. Makin lamanya waktu penyeberangan tentu menimbulkan kerugian yang amat besar, bukan hanya bagi dunia usaha saja, juga bagi semua pihak lainnya.

Sumatera dan Jawa merupakan pusat perekonomian Indonesia, sementara Pelabuhan Merak dan Bakauheni adalah pintu utama yang menghubungkan kedua pulau tersebut. Hampir seluruh komoditas tujuan Jawa atau Sumatera dikirimkan menggunakan jasa pelabuhan penyeberangan di Merak dan Bakauheni. Faktor itulah sebenarnya yang mendorong pembangunan JSS dipandang sebagai solusinya.

JSS telah digagas sejak tahun 1960 di era pemerintahan Presiden Soekarno, bahkan dicanangkan menjadi salah satu bagian dari proyek Asian Highway Network (Trans Asia Highway dan Trans Asia Railway).

Terkait penundaan pembangunan JSS, Lampung dan Banten tentu mengharapkan ada solusi konkret sebagai pengganti JSS. "Jika JSS batal dibangun, harus ada solusi lain, yakni pelebaran pelabuhan," kata Pelaksana Tugas Gubernur Banten, Rano Karno.

Sehubungan "jembatan laut" yang menjadi pilihan pemerintahan Presiden Jokowi-Capres JK maka diharapkan program itu segera diwujudkan dan dipadukan dengan rencana pembangunan Tol Trans Sumatera dan Kereta Api Trans Sumatera.

Dengan demikian, "jarak" Sumatera dan Jawa tidak makin jauh, tetapi makin dekat, sehingga daya saing Indonesia menghadapi pasar bebas, terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015, bisa makin kuat.

Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014