Matahari bersinar terik di Kota Jantho, ibu kota Kabupaten Aceh Besar meski berada tidak jauh dari kaki Gunung Seulawah, gunung api aktif di Provinsi Aceh.

Dikelilingi hamparan gunung menghijau dan dibelah beberapa sungai yang bermuara ke Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh, tidak mampu menghalau panas yang menyengat.

Meski menjadi hulu beberapa sungai seperti Krueng (sungai) Inoeng dan Krueng Kaloek tapi tidak semua bisa menikmati air bersih.

Padahal air dari sungai-sungai yang menyatu ke Krueng Aceh itu menjadi sumber air bersih yang dialirkan perusahaan air minum daerah bagi warga Banda Aceh yang berjarak 60 kilometer dari Jantho.

Seperti yang dialami enam desa atau biasa disebut gampong yaitu Bueng, Awek, Data Cut, Jalin, Jantho Baru dan Weu yang bahkan berada dalam kawasan cagar alam Jantho.

Sedangkan gampong lainnya di yaitu Barueh, Teureubeh, Bukit Meusara, Cucum, Jantho Makmur, Jantho dan Suka Tani relatif lebih mudah mengakses air bersih.

Asnawi, salah seorang warga mengatakan, sejak lama mereka kesulitan mendapat air bersih.

"Kalau ambil air bersih kami harus jalan jauh dulu ke sumber air di gunung," kata Asnawi.

Menurut warga, Eko Wisnu Abdi, keadaan tersebut seakan tidak memberi pilihan bagi warga gampong untuk berladang berpindah-pindah demi mendapatkan hasil yang melimpah.

Kebiasaan itu disadari sangat merusak kawasan yang hijau karena pohon-pohon harus ditebang untuk membuka ladang dan ditinggalkan begitu saja ketika mencari lahan lain untuk dibuka.

"Dulu masyarakat tidak mau turun, tetap mau digunung untuk membuka lahan karena dekat dengan mata air," kata Eko.



Bentuk Forsaka

Gempa bumi dahsyat yang disusul tsunami pada 2004 begitu menguncang karena banyak korban jiwa dan meluluhlantakkan kawasan pesisir Aceh.

Kerusakan juga ternyata merambat hingga ke Jantho yang sejatinya jauh dari kawasan pesisir. Hutan Jantho rusak karena banyaknya kebutuhan kayu untuk membangun rumah korban tsunami.

"Waktu itu ada warga korban tsunami yang mengungsi ke daerah kami, dan mulailah kayu diambil," kata Eko.

Pohon-pohon yang ditebang sebagian ada di kawasan cagar alam dan sekitar daerah tangkapan air yang memiliki luas sekitar 2.000 hektare.

Daerah tangkapan air itu sebenarnya sudah dijaga warga gampong agar tetap terpelihara, bahkan mereka membuat bak penampungan dan menyambung pipa-pipa hingga ke rumah-rumah sejak 2004.

Tadinya warga masih membuka ladang berpindah akhirnya mau turun ke gampong karena air sudah semakin mudah didapat sejak dibangun bak penampungan.

Melihat perlindungan sumber air semakin mendesaknya, warga enam gampong itu akhirnya sepakat membentuk Forum Sayeung Krueng Kaloek yang disingkat Forsaka pada 2006.

Eko yang juga salah satu pengurus Forsaka mengatakan forum tersebut beranggotakan mulai dari warga biasa hingga pelaku penebangan hutan (logger).

"Dulu saya juga logger, dan masih banyak logger lain yang kami rekrut sebagai anggota Forsaka," katanya.

Tugas Forsaka antara lain menjaga daerah tangkapan air di Krueng Kaloek dari penebangan ilegal, dan memelihara pipa-pipa penyalur air bersih.



Kearifan Lokal

Demi menjaga kelestarian sumber air mereka, warga gampong tetap memegang teguh kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat,

"Kami punya kearifan yang intinya tetap menjaga daerah tangkapan air, seperti dilarang menebang pohon di sekitar mata air, meracun ikan dan membuang sampah di badan air," kata Mukim Jantho, M Yusuf Gadeng.

Mukim di Aceh adalah jabatan pemerintahan yang membawahi beberapa gampong (desa). M Yusuf Gadeng membawahi 13 gampong di Mukim Jantho.

Menurut Yusuf, warga boleh menebang pohon dan menangkap ikan secukupnya untuk memenuhi kebuuhan hidup, dan yang terpenting tidak merusak.

Setelah pohon ditebang, warga juga wajib menanam pohon kembali sehingga kelestarian hutan dan sumber air tetap terpelihara.

Yusuf mengatakan, dengan kearifan lokal yang terus hidup di tengah masyarakat itu, sumber air dan lingkungan tetap terjaga.

Oleh Desi Purnamawati
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014