Jakarta (ANTARA News) - Ketua Faksi PKB MPR RI M Lukman Edy mengatakan penanganan persoalan daerah perbatasan hanya bisa dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan, seperti pembangunan infrastruktur, meningkatkan pendidikan dan kesehatan yang layak, serta menumbuhkan perekonomian.

Tanpa itu, jangan heran bila suatu waktu yang menggeser patok perbatasan negara bukanlah negara tetangga, tapi masyarakat Indonesia sendiri yang ingin wilayahnya masuk ke negara tetangga untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan.

Demikian disampaikan Lukman Edy saat diskusi "Pilar Negara, Nasionalisme di Perbatasan" di Gedung MPR RI, Jakarta, Senin (24/11).

"Dalam menangani daerah perbatasan itu yang dibutuhkan adalah pendekatan kesejahteraan. Seperti pembangunan infrastruktur, menyiapkan pendidikan dan kesehatan yang kayak, dan penyediaan kredit bagi masyarakat di perbatasan," katanya.

Mantan Menteri Pembanguan Daerah Tertinggal (PDT) ini mengatakan persoalan di wilayah perbatasan biasanya muncul ketika masyarakat Indonesia di daerah tersebut kesejahteraannya lebih rendah dari warga negara tetangga. Akibanya, kehidupan mereka sangat tergantung dari negara tetangga.

"Jangan heran bila suatu saat yang menggeser patok perbatasan itu bukan negara tetangga, tapi masyarakat Indonesia itu sendiri. Karena dengan menggeser patok, masyarakat bisa dapat banyak program kesejahteraan. Di Malaysia saja, ada program perkebunan, dan perumahan bagi masyarakatnya yang tinggal di perbatasan," ujar Lukman.

Karena itu, ucapnya, mau tidak mau untuk membangun nasionalisme di perbatasan harus melalui pendekatan kesejahteraan. "Ada 5 cara membangun nasionalisme di perbatasan. Cara satu sampai empat itu kesejahteraan, baru cara kelima pertahanan. Kalau kita kasih doktrin terus, ya bisa masyarakat kita sendiri yang geser patok perbatasan," katanya.

Hal yang harus menjadi prioritas, ujar Lukman, adalah membangun dan meningkatkan infrastruktur. Jalan-jalan di wilayah perbatasan, katanya, mayoritas belum dibangun. Kalau pun sudah dibangun, kualitas jalannya sangat jelek, jauh dari jalan-jalan perbatasan di negara tetangga.

"Ada daerah yang minta jalan bertahun-tahun tidak dipenuhi, karena harus buka hutan lindung dulu. Tapi ketika kepala daerahnya minta izin buka hutan lindung, bertahun-tahun juga tidak dipenuhi. Eh, malah yang di Bogor yang disetujui," ucapnya.

Kemudian, penyediaan sekolah berasrama dengan fasilitas dan tenaga pendidik yang baik. Di sekolah itulah bisa diberikan pendidikan kewarganegaraan dan lainnya. "Guru terbaik kirim ke sana, beri gaji besar, dan fasiltas yang mencukupi. Haruss ada insentif bagi guru yang mau ke perbatasan," katanya.

Dua hal itulah, katanya, yang menjadi permintaan masyarakat di perbatasan. Selain tentunya insentif dari pemerintah untuk meningkatkan perekonomian di wilayah perbatasan.

"Harus ada Bank Perkreditan Rakyat, yang menyalurkan kredit, dan menampung hasil ladang, sawah, dan kebun masyarakat perbatasan. Berikan masyarakat di sana kebun, minimal tiga hektar karena di Malaysia saja masyarakatnya yang di perbatasan diberi tiga hektar kebun. Amanatkan satu PT Perkebunan Nusantara untuk khusus kelola sawit dan kebun di wilayah perbatasan," ujarnya.

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014