Putusannya menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), menguatkan sepenuhnya, tidak hanya menguatkan tapi juga ada pertimbangan tambahan dari PT,"
Jakarta (ANTARA News) - Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperkuat vonis terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yaitu hukuman penjara seumur hidup karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dan tindak pidana pencucian uang.

"Putusannya menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), menguatkan sepenuhnya, tidak hanya menguatkan tapi juga ada pertimbangan tambahan dari PT," kata Juru Bicara PT DKI Jakarta Muhammad Hatta di Jakarta, Rabu.

Putusan itu menurut Hatta dibacakan pada 12 November 2014 oleh majelis hakim yang diketetuai oleh Syamsul Bahri Bapatua.

"Jadi ada pertimbangan yang ditambahkan dari PT. Di sini disebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa Akil Mochtar tidak hanya merusak nama lembaga negara dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, tapi juga termasuk nama baik dari para hakim yang berada di lembaga tersebut, juga merusak nama baik hakim di lembaga peradilan lainnya (seperti) peradilan umum, agama, militer, jadi tidak hanya hakim di MK saja," ungkap Hatta.

Majelis hakim PT juga menilai bahwa Akil berani untuk aktif melakukan hubungan langsung dengan pihak yang meminta bantuan kepada terdakwa.

"Terdakwa tidak malu-malu meminta uang kepada sejumlah pihak dengan jumlah yang sangat fantastis, jumlah yang bermiliar-miliar yang semuanya dimasukkan dalam rekening sendiri dan rekening usaha yang dikelola istrinya, jadi dengan pertimbangan itu majelis hakim PT DKI ini menilai putusan pengadilan tingkat pertama sudah dipandang tepat dan wajar, diukur dari segi kepantasan," jelas Hatta.

KPK sendiri mengapresiasi putusan hakim PT tersebut.

"Kami menghormati proses hukum, dan mengapresiasi putusan tersebut," kata Juru Bicara KPK Johan Budi melalui pesan singkat.

Hakim pengadilan Tipikor pada 30 Juni 2014 memutuskan Akil bersalah dalam enam dakwaan.

Pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas (Rp3 miliar), Lebak (Rp1 miliar), Pelembang (Rp19,9 miliar) dan Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS).

Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Buton (Rp1 miliar), Morotai (Rp2,99 miliar), Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar), sedangkan Lampung Selatan (Rp500 juta) dinilai sebagai gratifikasi, bukan suap sehingga tidak terbukti.

Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa pilkada Jawa Timur (Rp10 miliar) dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel (Rp125 juta).

Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten (Rp7,5 miliar).

Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif hingga Rp129,86 miliar saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.

Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014