... mungkin tidak diketahui semua menteri, yang sibuk blusukan di mana-mana...
Jakarta (ANTARA News) - "Pembatalan atau pencabutan surat edaran Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, yang melarang para menteri, panglima TNI, kepala Badan Intelijen Negara, dan kepala Polri rapat dengan DPR tidak bisa hanya melalui perintah lisan dari Presiden Jokowi," kata anggota Fraksi Amanat Nasional, Saleh Daulay.

"Perintah Presiden Jokowi itu melalui surat edaran sekretaris kabinet, bukan perintah lisan. Pencabutannya harus secara tertulis, tidak bisa lisan," katanya, dalam diskusi mingguan yang digelar wartawan di Ruang Wartawan Gedung Nusantara III DPR, Kamis.

Seharusnya, kata dia, menteri dilarang rapat dengan DPR itu disampaikan secara lisan, bukan tertulis. Sebab surat edaran itu menggunakan logo lambang negara, Garuda Pancasila.

"Kebijakan itu seharusnya tidak tertulis, karena memakai lambang negara. Institusi DPR itu setara dengan institusi kepresidenan," ujarnya.

Menurut dia, surat edaran itu memberi kesan pemerintah tidak independen. Presiden seharusnya tidak melarang menteri rapat dengan DPR, karena Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah berdamai.

"Secara langsung atau tidak langsung, ada kesan keberpihakan pada satu kelompok di DPR. Padahal di DPR sudah tidak ada masalah, contohnya di Komisi VIII seluruh fraksi sudah memasukkan nama-nama anggotanya," katanya.

Hal senada dikatakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Keadilan Sejahtera, Muhammad Djamil, yang juga menjadi narasumber dalam diskusi itu.

Dia mengatakan, instruksi Presiden Jokowi yang mengizinkan menteri rapat dengan DPR disiarkan media massa. Namun kemungkinan tidak semua menteri membaca atau menyaksikan berita terkait instruksi Presiden Jokowi saat kunjungan kerja di Bengkulu.

"Saya sepakat, sekretaris kabinet membuat surat pencabutan larangan menteri rapat dengan DPR. Karena instruksi Presiden Jokowi saat kunjungan kerja di Bengkulu, mungkin tidak diketahui semua menteri, yang sibuk blusukan di mana-mana," katanya.

Menurut dia, surat edaran itu sebagai bentuk komunikasi politik yang buruk antara pihak eksekutif dengan legislatif. Surat itu juga menunjukkan pemerintah tidak netral.

Pemerintah seharusnya netral, tidak boleh berpihak.

"Ketika sudah menjadi presiden, Jokowi merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, milik seluruh rakyat," katanya.

Surat edaran itu juga seperti memancing di air yang keruh. Maksud dari pemerintah mungkin tidak ingin terlibat polemik di DPR, tetapi malah memancing di air keruh.

"Seharusnya menjadi angin yang menyejukan," katanya.

Dia juga menyinggung surat edaran yang dikatakan berbagai pihak bersifat internal. Tetapi ternyata surat itu mengikat keluar sehingga menimbulkan implikasi politik.

"Menjadi persoalan, karena menteri tidak boleh hadir dalam rapat DPR. Ini berdampak buruk pada hubungan eksekutif dengan legislatif," katanya.

Sementara itu anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Maman Imanulhaq, yang juga menjadi narasumber dalam diskusi itu, mengatakan, surat edaran itu berlaku di internal para menteri, sebab tidak ada surat resmi untuk DPR.

"Permintaan untuk menunda rapat dengan DPR itu, memberi kesempatan DPR untuk konsolidasi. Kalau kondisinya belum baik, nanti menteri bingung mau ketemu dengan DPR yang mana," katanya.

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014