Puri Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, kembali menggelar ritual pengabenan (pelebon) berskala besar, sebagai penghormatan terakhir terhadap mendiang Dr Ir Tjokorda Raka Sukawati (83) pencetus kontruksi jalan layang di Indonesia.

Prosesi pembuatan Bade, keranda jenazah setinggi 25 meter itu digarap sejak November lalu yang setiap harinya melibatkan 100-200 pekerja, sehingga dapat dirampungkan tepat pada waktunya.

Selain bade yang menjulang tinggi dengan sembilan tingkat (tumpang sembilan) itu juga dilengkapi dengan "kendaraan" lembu sebagai sarana ritual pengabenan, tutur arsitek pembuatan bade tersebut Dr Cokorda Gde Sukawati,MM.

Tradisi pelebon di Puri Ubud menggunakan kelengkapan ritual antara lain menara pengusungan jenazah (bade) bertingkat sembilan dengan total ketinggian mencapai 25 meter.

Selain itu juga dilengkapi lembu yang dibuat sedemikian rupa tidak jauh berbeda dengan kegiatan serupa yang pernah digelar sebelumnya, yakni 8 Mei 2013 untuk penghormatan terakhir terhadap almarhum Tjokorda Ngurah Wim Sukawati (90), putra sulung mantan Presiden Negara Indonesia Timur (NIT) Tjokorde Gde Raka Sukawati, maupun pada 18 Agustus 2011 untuk menghormati jenazah Anak Agung Niyang Rai (80) ibunda dari mantan bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati yang akrab disapa Cok Ace.

Bade dengan total berat enam ton dan kelengkapan ritual pengabenan lainnya dibawa dari rumah duka ke setra (kuburan) yang berjarak sekitar satu kilometer di arah timur itu melibatkan 1.200 warga banjar dari empat dusun di Ubud secara estafet.

Keempat banjar yang terlibat dalam pengusungan bade tersebut masyarakat banjar Ubud Kaja, Ubud Kelod, Bantuyang Sakti dan banjar Taman yang dapat terlaksana dengan baik dan lancar.

Kerangka bade itu dilengkapi dengan ornamen, sehingga tampak megah, menarik, unik dan mengandung unsur seni, sehingga menjadi sebuah atraksi wisata yang sangat menarik bagi wisatawan mancanegara yang sedang menikmati liburan di perkampungan seniman Ubud itu.

Ornamen kelengkapannya menyerupai bentuk berbagai jenis binatang yang dikerjakan secara teliti dan hati-hati selama tiga-empat hari sebelum kegiatan puncak.

Ritual pengabenan Tjokorda Raka Sukawati yang meninggal 11 November 2014 lalu mendapat perhatian besar dari berbagai elemen masyarakat Pulau Dewata.

Mereka berbaur dengan wisatawan dalam dan luar negeri mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir

Sebanyak 178 personel aparat kepolisian diterjunkan untuk mengamankan dan kelancaran prosesi pengabenan tersebut, yang tersebar di sejumlah titik mulai dari rumah duka hingga setra, tempat ritual pengabenan tersebut berlangsung.



Penemu tiang pancang

Sosok Dr Ir Tjokorda Raka Sukawati semasa hidupnya dikenal sebagai penemu tiang pancang pembangunan jalan layan yang diberinya nama Sosrobahu.

Hal itu merupakan teknik konstruksi yang digunakan untuk memutar bahu lengan beton jalan layang. Lengan jalan layang diletakkan sejajar dengan jalan di bawahnya, yang selanjutnya diputar 90 derajat sehingga pembangunannya tidak mengganggu arus lalu lintas di bawahnya.

Penemuan teknologi tersebut telah diterapkan di negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura serta Indonesia. Salah satu jalan layang terpanjang di Metro Manila, yakni ruas Vilamore-Bicutan, memakai buah karya pria lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.

Bahkan di Ibu Kota Jakarta, teknologi temuan almarhum Tjokorda Raka Sukawati digunakan di jalan layang Cawang-Pluit.

Almarhum juga berhasil mendirikan Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bali setelah pensiun dari PT. Hutama Karya.

Sosok pria berdarah biru kembali melanjutkan penemuan teknologi sosrobahu versi kedua sambil mengajar di jenjang Pascasarjana.

Tjokorda meraih gelar Insinyur bidang Teknik Sipil di Institut Teknologi Bandung 1962, dan memperoleh gelar Doktor dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 1996.

Meniti karier di PT Hutama Karya yang bergerak dibidang jasa konstruksi dan infrasruktur, merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian Pekerjaan Umum (PU).

Ketika menggarap proyek jalan layang antara Cawang dengan Tanjung Priok di Jakarta itulah teknologi Sosrobahu ditemukan.

Sebenarnya temuannya belum diuji secara khusus di laboratorium saat dipraktekkan. Namun ia merasa yakin temuannya bisa bekerja sesuai rumusan ilmiah yang ada. Bahkan sebelum temuannya dipraktekkan, beliau yang menganut agama Hindu yang taat itu menyempatkan diri bersembahyang di atas konstruksi itu.

Ia terbilang nekad saat itu, dengan mengatakan bahwa akan bersedia mundur dari direktur PT. Hutama Karya kepada menteri Pekerjaan Umum saat itu, bila temuannya itu ternyata tidak bisa bekerja. Namun ternyata temuan Sosrobahu itu dapat bekerja sebagaimana mestinya tanpa kurang suatu apa pun.

"Sungguh sempurna, karena temuan itu 80 persen atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Bahkan angka tekanan 78 kg/cm yang ditetapkan dalam teknologi temuannya itu, sebenarnya angka misterius, entah dari mana saat menetapkan angka wangsit itu," ujar saat itu.

Semuanya dapat berhasil bahkan para insinyur Amerika Serikat yang mengerjakan jalan layang di Seattle begitu taat dengan ketetapan 78 kg/cm itu. Belakangan, setelah diketahui di laboratorium yang kemudian dibangunnya sendiri itu, didapatkan hasil perhitungan berupa ketetapan sebesar 78,05 kg/cm�. Persis sama dengan ketetapan angka wangsit tadi.

Oleh i ketut sutika
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014