Jakarta (ANTARA NEWS) - Mantan menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004, Dorodjatun Kuntjoro-djakti, kembali dimintai keterangan KPK dalam penyelidikan pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Namun Dorotjatun yang menyelesaikan pemeriksaan sekitar pukul 17.15 WIB menolak berkomentar mengenai pemeriksaannya saat ditanya wartawan dan langsung masuk ke dalam mobil.

Ia sudah pernah dimintai keterangan sebanyak dua kali dalam penyelidikan kasus yang sama.

"Benar ada permintaan keterangan terkait penyelidikan KPK terkait pemberian SKL BLBI, tadi Dorodjatun dimintai keterangan yang ketiga kali. Kemarin Pak Laksamana yang dimintai keterangan," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi.

Dia mengaku KPK sedang mendalami penerbitan SKL BLBI tersebut. "Kami sedang mendalami sejauh mana kewajiban obligor terkait pemenuhan SKL itu," kata dia.

Selain Dorodjatun, KPK juga suda meminta keterangan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001-2004, Laksamana Sukardi pada Rabu (10/12), dan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, I Putu Gede Ary Suta. 

Juga mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001, Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan 1998-1999, Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan Kepala Bappenas 2001-2004, Kwik Kian Gie.

Semua peristiwa itu terjadi pada masa Megawati Soekarnoputri menjadi wakil presiden (1999-2001) dan presiden Indonesia (2001-2004). 

Sukardi pada Rabu (10/12) menjelaskan, ia dimintai keterangan untuk melengkapi informasi mengenai SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim.

Nursalim mantan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia dan perusahaan ban PT Gajah Tunggal, yang mendapatkan jatah Rp52,72 triliun namun hingga saat ini dia belum memenuhi kewajiban pembayarannya dan sudah lari keluar negeri.

Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh BPK, nilai penjualan dari aset Nursalim yang diserahkan kecBPPN untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau cuma sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.

"Kebijakannya, jelaskan bahwa memang ini adalah dari Tap MPR lalu ada UU 25 mengenai Propenas (Program Pembangunan Nasional) tahun 2000 dan Tap MPR Nomor 10/2001, ada Inpres Nomor 8/2002. Pemberian kepastian hukum kepada obligor-obligor," kata Sukardi. 

"Jadi memang obligor itu yang telah memenuhi kewajiban pemegang saham yang membayar itu harus diberikan kepastian hukum karena dia mau menandatangani perjanjian," kata dia.

KPK juga sudah mencegah seorang partikelir, Lusiana Yanti Hanafiah, terkait dugaan pemberian sesuatu kepada pegawai negeri dan atau penyelengara negara terkait perizinan pemanfaatan lahan tanah sejak 4 Desember 2014.

Hanafiah diduga mengelola tanah yang diberikan kepada penyelenggara negara yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SKL.

Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres Nomor 8/2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan, Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian, Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Sukardi.

Dari Rp144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara karena tidak dikembalikan kepada negara, tapi baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.

Sedangkan sisanya yaitu para obligor yang tidak mengembalikan dana mendapatkan mendapatkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung karena mendapatkan SKL berdasarkan Inpres Nomor 8/2002.

Inpres ini tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan PKPS.

Sejumlah bank yang mendapatkan SKL antara lain Bank Baja Internasional dengan tersangka Jean Rudy Ronald Pea, Bank Sewu Internasional (Lany Angkosubroto), Bank Papan Sejahtera (Njo Kok Kiong), Bank Istimarat dan Bank Pelita dengan tersangka Agus Anwar, Bank Hokindo (Hokiarto), Bank Dana Hutama (Hadi Purnama Chandra), dan Bank Umum Nasional (Bob Hasan).



Pewarta: Desca Natalia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014