Sangat mungkin seorang guru salah dalam menentukan nilai kejujuran dan spritual dari murid-muridnya. Dan kesalahan itu, bisa berdampak pada masa depan siswa."
Di Provinsi Sulawesi Tenggara, setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  mengungkap kebijakan menyangkut penghentian penerapan K-13 kepada publik,  sejumlah guru, siswa, dan orang tua murid mengungkapkan betapa berat beban yang dipikul dari penerapan kurikulum tersebut.

"Setiap hari, kami harus menanggung beban biaya dari penggandaan lembar penilaian yang dibagikan kepada para wiswa. Oleh siswa kemudian mengisi nilai di lembaran penilaian tersebut berdasarkan penilaian diri sendiri dan menilai teman-teman satu kelasnya," Salah seorang guru SMA Negeri 3 Baubau, Nursia Hamid melalui telepon dari Baubau, Sabtu.

Bayangkan ujarnya, guru setiap hari harus menggandakan lembaran penilaian sebanyak 27 lembar (sesuai jumlah siswa dalam satu kelasnya), dengan harga foto kopi Rp250/lembar, maga guru harus mengeluarkan uang Rp6.750/ kelas.

Nah, kalau guru yang mengajar minimal enam kelas dalam sehari katanya, maka guru bersangkutan harus menanggung biaya foto kopi lembar penilaian dari enam kelas tersebut sebanyak Rp40.500.

Beban lain yang juga dirasakan berat oleh guru adalah tugas mengamati dan menilai gerak gerik siswa dari berbagai aspek penilaian seperti kejujuran, spritual, dan kekompokan siswa saat proses belajar mengajar di dalam kelas sedang berlangsung.

Menentukan nilai dari berbagai hal tersebut, bagi guru bukanlah hal muda karena tolok ukurnya tidak jelas sehingga penilaian bisa subyektif dan lebih dipengaruhi oleh emosional guru.

"Sangat mungkin seorang guru salah dalam menentukan nilai kejujuran dan spritual dari murid-muridnya. Dan kesalahan itu, bisa berdampak pada masa depan siswa," katanya.

Keterangan serupa juga disampaikan Abdul Hamid, guru SMA Negeri 3 Baubau.

Menurut dia, penerapan kurikulum 2013, hanya menjadi beban bagi guru, siswa dan orangtua murid.

"Setiap hari siswa harus membuat laporan dalam bentuk paper dan memfoto kopi materi pelajaran. Biaya foto kopi dan pembuatan paper tersebut, tentu sangat membebani orang tua," kata Hamid.

Makanya ujar Hamid, guru-guru, siswa dan orangtua, sangat mendukung kebijakan Menteri Pendidikan yang mau menghentikan penerapan kurikulum 2013 itu.

Kebijakan itu, akan melepaskan guru, siswa dan orangtua dari berbagai beban yang teramat berat.

Kebijakan tepat

Sementara itu, Satna Nafarudin, guru SMP Negeri 8 Lowu-lowu, Kota Baubau menilai kebijakan Mendikbud menghentikan penerapan kurikulum 2013 tersebut merupakan kebijakan yang sangat tepat.

"Sebagai guru sekaligus orangtua siswa, saya sangat setuju dengan penghentian kurikulum 2013 itu, sebab dengan sistem pembelajaran yang dikehendaki kurikulum itu, kita guru-guru hanya capek berdiri di depan kelas menunggu respon siswa setelah membaca materi ajar yang dibagikan," katanya.

Bila tidak ada siswa yang bertanya, guru yang mesti bertanya kepada siswa.

Pertanyaan guru, belum tentu bisa mewakili secara keseluruhan materi pelajaran karena guru hanya memberi upan.

"Jelas cara mengajar seperti ini di daerah-daerah sangat tidak efektif. Upaya meningkatkan mutu pendidikan, hanya akan sia-sia," katanya.

Makanya ujar Satna kebijakan menghentikan kurikulum 2013 dan kembali ke kurikulum 2006 itu sangat tepat.

Hal yang sama juga dikemukakan Djafar, Kepala SMP Negeri 8 Kendari. Menurut dia, penerapan kurikulum 2013 hanya akan membawa kemunduran dari mutu pendidikan Indonesia.

"Bagaimana kualitas pendidikan bisa baik, kalau dalam proses belajar mengajar guru hanya menunggu respon dari siswa setelah membaca materi pelajaran," katanya.

Jika siswa tidak bertanya kata dia, maka proses belajar mengajar berjalan pasif dan menoton.

Kurangi Beban Orang tua
Sementara itu, Hasan (51), salah satu orangtua siswa di Kendari mengaku kebijakan Menteri Pendidikan menghentikan kurikulum 2013, mengurangi beban orang tua murid dari beban yang teramat berat.

Itu karena kata dia, orang tua tidak lagi terbebani dengan biaya memfoto kopi materi pelajaran dari buku kurikulum 2013 pada setiap harinya, bila kurikulum 2013 benar-benar dihentikan.

"Bayangkan betapa beratnya kita orangtua harus membayar biaya foto kopi materi pelajaran pada setiap harinya," kayanya nada bertanya.

Makanya ujar dia, kebijakan menteri itu, telah menyelamatkan orang tua dari beban yang selama ini dirasakan cukup berat.

Para siswa juga sangat gembira dengan penghentian kurikulum 2013, sebab dengan kebijakan itu, para siswa tidak sibuk lagi dengan pembuatan paper yang disampaikan kepada setiap guru mata pelajaran.

"Waktu dan tenaga kita untuk mempelajari materi pelajaran, hanya terkuras menyusun paper dan mencari materi pelajaran di internet. Proses pembelajaran seperti ini, sangat menyulitkan kami para siswa," kata Fitri Jumawati, siswa SMK Negeri 1 Kendari.

Fitri yang duduk di kelas 11 itu, mengaku lebih nyaman mengikuti proses belajar mengajar dengan kurikulum 2006.

Dengan kurikulum tersebut terjadi interaksi belajar antara guru dan siswa karena guru dalam mengajar harus lebih dahulu menjelaskan materi, lalu siswa bertanya kalau ada materi yang belum jelas.

"Kurikulum 2013, kita siswa sendiri yang dipaksa memahami materi pelajaran. Kita dipaksa bertanya kepada guru, tanpa penjelasan sebelumnya dari materi yang diajarkan," katanya.

Keterangan yang serupa juga disampaikan Rahmat Rahim, siswa SMA Negeri 2 Kendari.

Menurut dia, proses belajar mengajar dalam kurikulum 2013 berlangsung menoton, karena siswa sendiri yang dipaksa memahami materi pelajaran tanpa penjelasan mendalam dari guru bidang studi.

"Interaksi antara guru dan kita para siswa sangat kurang, karena guru hanya mengantar kami siswa menelaah sendiri materi pelajaran," katanya.

Oleh Agus
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014