Jakarta (ANTARA News) - Tidak ada yang menduga jika payung yang awalnya dibawa para pengunjuk rasa Hong Kong untuk melindungi diri dari gas air mata kemudian lekat menjadi simbol aksi tersebut.

Aksi protes sebagian warga Hong Kong menentang kebijakan pemerintah terkait pemilihan kepala daerah yang dimulai pada September 2014 itu kemudian secara luas dikenal sebagai "Revolusi Payung".

Sebutan "Revolusi Payung" tersebut kemudian diubah menjadi "Gerakan Payung" untuk menghindari konotasi istilah "Revolusi Payung" yang merujuk pada "Revolusi Warna".

"Revolusi Warna" adalah istilah yang biasa digunakan oleh media massa untuk menyebut gerakan sejumlah kelompok masyarakat di bekas wilayah Uni Soviet dan Balkan pada awal 2000-an.

"Gerakan Payung" adalah salah satu aksi politik yang cukup mendapat sorotan dunia internasional sepanjang 2014 ini mengingat peristiwa tersebut terjadi di Tiongkok -- sebuah negara yang telah lama dikenal dengan pemerintahan Partai Komunis yang kuat.

Selama lebih dari dua bulan puluhan ribu pengunjuk rasa menduduki jalan arteri timur hingga barat yang melalui distrik bisnis kota tersebut.

Para pengunjuk rasa itu menyerukan pemilihan umum yang sepenuhnya bebas untuk memilih pemimpin Kota Hong Kong pada 2017, namun Beijing bersikeras hanya akan mengizinkan pemilihan umum bebas bagi kandidat yang telah diseleksi sebelumnya, suatu sikap yang dicurigai oleh demonstran sebagai cara untuk menempatkan kandidat pro-Tiongkok.

Akan Kembali
Pekan ini, Pemerintah Hong Kong mendesak pengunjuk rasa untuk membenahi tenda-tenda serta meninggalkan lokasi unjuk rasa di dekat pusat kantor pemerintahan.

Pengumuman pemerintah yang menyebut pemblokiran jalan tersebut sebagai aksi ilegal, ditanggapi beragam oleh para peserta aksi.

Sejumlah media melaporkan bahwa beberapa pengunjuk rasa membenahi tenda pada Rabu (10/12) serta menyelamatkan karya seni "Gerakan Payung". Namun tidak sedikit juga yang bertahan.

Dan akhir pekan ini untuk pertama kalinya dalam 2,5 bulan terakhir lalu lintas yang padat terlihat mengalir melalui jantung kota Hong Kong setelah pemerintah membuktikan komitmennya dengan mengerahkan polisi untuk membersihkan kamp-kamp protes dengan penangkapan massal pegiat.

Pembubaran kamp-kamp aksi unjuk rasa oleh petugas kepolisian berujung pada penangkapan lebih dari 200 pengunjuk rasa.

Sekalipun aksi tersebut telah dibubarkan sejumlah pelaku aksi menyebutkan bahwa perjuangan mereka belum lagi usai.

"Kami akan kembali," demikian tulisan pada sebuah spanduk kuning besar yang digantung di salah satu sisi jembatan penyeberangan yang tertangkap lensa fotografer.

Sementara itu sebagaimana dikutip dari Reuters seorang pegiat mahasiswa dalam unjuk rasa 1989, Rose Tang, menilai "Gerakan Payung" itu sebagai sangat penting walaupun ia mendesak para pengunjuk rasa untuk meninggalkan lokasi tanpa kekerasan. "Mereka membuat sejarah."

Latar Politik
Warga Hong Kong yang turun ke jalan untuk menuntut pemilihan umum yang adil tersebut mendasarkan tuntutannya pada Perjanjian Bersama Inggris dan Tiongkok yang menjadi acuan kembalinya bekas koloni Inggris itu ke pangkuan Beijing pada 1 Juli 1997.

Pada 1984 Inggris dan Tiongkok menandatangani "Sino-British Joint Declaration". Perjanjian tersebut berisi prinsip "satu negara, dua sistem" untuk memastikan bahwa Hong Kong tetap mempertahankan sistem kapitalisme sampai 2047.

Deklarasi bersama itu mengatakan bahwa "sistem sosial dan ekonomi di Hong Kong tidak akan berubah, demikian pula cara hidup warganya."

Akibat perjanjian tersebut, warga Hong Kong menikmati beberapa hak, di antaranya berkumpul dan berpendapat.

Merujuk pada sejarah tersebut sekelompok anggota parlemen Inggris menyatakan niatnya untuk mengunjungi Hong Kong.

Namun, pemerintah Tiongkok menolak memberikan izin masuk bagi para anggota parlemen yang mengaku ingin mengawasi kemajuan demokrasi di Tiongkok.

Oleh GNC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014