Jakarta (ANTARA News) -  Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Basarah menilai, surat Mahkamah Konstitusi (MK) No. 2777/HP.00.00/12/2014 tanggal 11/12 terkait keberatan terhadap keputusan Presiden Jokowi yang memilih Refly Harun dan Todung Mulya Lubis sebagai anggota panitia seleksi (Pansel) calon hakim konstitusi adalah berlebihan.

Ia beralasan, pembentukan Pansel dan penetapan hakim konstitusi dari unsur Presiden adalah  wewenang Presiden yang tidak dapat diintervensi siapa pun.

Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 telah menjamin bahwa MK mempunyai 9 orang hakim konstitusi yang masing-masing tiga orang orang diajukan Mahkamah Agung, tiga oleh DPR RI dan tiga oleh Presiden.

Untuk menjamin proses penetapan hakim konstitusi yang transparan dan partisipatif, kata Basarah, sesuai perintah Pasal 19 UU MK, maka Presiden membentuk Pansel untuk membantunya.

Politisi PDIP itu menambahkan, pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menjamin tidak ada intervensi dalam pembentukan Pansel dan penetapan hakim konstitusi oleh Presiden.

"Melalui surat tersebut, MK secara nyata telah melanggar UUD 1945, padahal MK seharusnya menjadi penjaga UUD 1945," kata Basarah di Jakarta, Senin.

Dia menilai surat keberatan MK itu bernuansa kepentingan politik Ketua MK Hamdan Zoelva yang telah menyatakan berminat maju kembali untuk periode kedua.

"Muncul kesan bahwa Hamdan Zoelva ingin Pansel diisi orang-orang yang mendukungnya. Surat ini juga bentuk arogansi Ketua MK yang menganggap Presiden seakan tidak mampu memilih figur Pansel yang independen dan obyektif," kata dia.

Oleh karena itu, dengan pertimbangan tersebut, dia mendesak MK segera menarik kembali surat tersebut karena telah meruntuhkan kewibawaan MK sebagai lembaga peradilan yang harusnya bebas dari pengaruh kepentingan politik.

"Saya juga meminta kepada Presiden dan Pansel untuk tetap bekerja dalam memilih hakim konstitusi yang berintegritas, adil dan negarawan," kata Basarah.







Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014