Padepokan kebanyakan mengajarkan seni bela diri seperti pencak silat kepada murid-muridnya, namun tidak demikian dengan Padepokan Ragasukma yang digagas Alex Irzaqi dan Sweta Kartika.

Padepokan Ragasukma tidak menggembleng murid-muridnya bela diri, melainkan menjadi pembuat komik silat.

"Dari awal kami berpikir kurangnya komik silat, jadi kami berdua memutuskan untuk menjadi guru dan mencari orang-orang untuk direkrut ke Padepokan Ragasukma," kata Sweta pada Antara.

Para murid yang terpilih akan diajari membuat komik silat oleh Sweta, yang dikenal lewat "Nusantaranger", serta Alex Irzaqi yang telah menelurkan "Dharmaputra Winehsuka" di padepokan yang baru enam bulan berdiri itu.

Hingga sekarang kedua komikus yang berdomisili di Bandung itu sudah merekrut dua murid yang didorong untuk produktif berkarya. Hasilnya akan dipamerkan di portal daring Padepokan Ragasukma.

Murid-murid yang disebut sebagai "pendekar" itu diwajibkan memiliki "jurus" karya sendiri. Kalau Alex Irzaqi atau Zaki sang guru punya "Madasastra", salah satu "pendekar" di Ragasukma punya "Nagasari".

Sweta dan Zaki berbagi tugas dalam mendidik para "pendekar" yang dibekali "kitab hitam", buku kosong berukuran A5 yang harus diisi gambar komik sebanyak lima bab.

Para "pendekar" tidak dilepas berkarya begitu saja. Kedua guru siap membantu para murid yang mengalami kesulitan.

Sweta biasanya membantu para murid dalam mengembangkan cerita.

"Saya biasanya dicurhati soal cerita karena saya biasa berpikir A-Z, sementara murid-murid masih berpikir parsial," ujar Sweta.

Dia juga bertugas untuk mengurus manajemen Padepokan Ragasukma untuk memastikan hasil karya para komikus dapat bersaing dengan yang lain.

"Saya memikirkan mau diapakan barangnya kalau sudah selesai?" kata dia.

"Kami akan menerbitkan sendiri dengan mengandalkan event dan online shop," lanjut Sweta.

Baik Sweta maupun Zaki memahami bahwa tiap komikus memiliki gaya gambar sendiri dan mereka tidak menganggap itu sebagai masalah.

"Ada yang gayanya manga (komik Jepang) banget, tapi ya tidak apa-apa," kata Sweta.

Bagi mereka, tugas guru adalah membesarkan nama para "pendekar" dengan segala kelebihan yang dimiliki.

"Saya justru berpikir bagaimana agar potensi gaya gambar seperti ini dapat dimaksimalkan," tambah Zaqi.


Rindu Komik Silat Berkualitas

Zaki dan Sweta mengaku merindukan kehadiran komik silat yang ikut mewarnai masa kecil mereka.

Zaqi kecil terpesona dengan "Legenda Putra Langit" karya komikus Taiwan Tony Wong. Sementara Sweta tumbuh besar dengan karya Kho Ping Hoo serta "Wiro Sableng" buatan Bastian Tito.

Kedua komikus yang telah tiga kali berkolaborasi di ajang Kompetisi Komik Indonesia itu menganggap kualitas komik silat masa lampau jauh lebih baik dari saat ini, setidaknya dalam unsur penerjemahan.

"Komik Tony Wong itu dari luar, tapi saya pikir penerjemahnya punya sense kependekaran yang tinggi. Mereka membentuk bahasa sastra yang keren sekali sampai saya kira itu buatan Indonesia," kata Zaqi, peraih 1st Winner Award dalam Silent Manga Audition 2014.

Sweta pun mengamini pendapat Zaqi.

"Penerjemahan sekarang tidak sebagus dulu, misalnya jurus-jurus diterjemahkan secara harfiah seperti memakai google translate," ujar pembuat komik "Grey dan Jingga" itu.

Sweta mengenang terjemahan komik silat masa lampau yang sastrawi, lebih indah dan mengena di hati.

"Misalnya jurus yang saat ini diterjemahkan menjadi Jurus Tapak Bunga, dulu bisa dibuat menjadi Kuntum Persik Dihantam Puyuh atau Tapak Lotus Pemecah Ombak," tutur pria berkacamata itu.

"Karena penerjemahan yang bagus, dibentuk dengan bahasa sastra yang keren sekali, saya dulu berpikir komik Tony Wong itu komik Indonesia," timpal Zaqi seraya terkekeh.


Adaptasi Pendekar Tongkat Emas

Niat Zaki dan Sweta menghidupkan kembali industri komik silat di Indonesia seakan mendapat dukungan semesta saat mereka dipilih untuk mengadaptasi film "Pendekar Tongkat Emas" ke dalam bentuk komik.

"Namanya cita-cita baik pasti di-ijabah (dikabulkan), saat ingin membangkitkan komik indonesia yang sudah lama tidak ada, kebetulan ada kesempatan membuat 'Pendekar Tongkat Emas'," kata Sweta.

Dia menyebut peluang ini sebagai proyek percontohan dari Padepokan Ragasukma yang diharap dapat menjadi awal baik untuk memajukan komik silat Tanah Air.

Tawaran mengadaptasi komik "Pendekar Tongkat Emas" datang dari editor M&C! Comics Gupta Mahendra yang telah menyaksikan sepak terjang keduanya di industri komik Indonesia.

Gupta yang pernah menjadi juri Kompetisi Komik Indonesia menjadi saksi mata kolaborasi Zaqi-Sweta dalam menciptakan komik bertema laga seperti "Maharaja Moksha".

Dalam waktu sebulan, keduanya harus menyelesaikan 32 halaman komik yang kisahnya diadaptasi dari skenario film garapan Jujur Prananto, Mira Lesmana, Ifa Isfansyah dan Seno Gumira Ajidarma.

"Keputusannya dari Mbak Mira Lesmana saya boleh eksplorasi sebebas mungkin karena saya pikir tidak mungkin satu film utuh dikomikkan 32 halaman, terlalu padat dan maksa," kata Zaqi.

Ia pun memutuskan untuk mengambil potongan kecil dari skenario yang kisahnya dikembangkan.

Komik berjudul "Pendekar Tongkat Emas - Lembah Angin" mengangkat kisah prekuel tentang pendekar Cempaka sebelum menemukan bayi terlantar yang kemudian dia angkat menjadi murid termuda bernama Angin.

Zaki mengatakan Cempaka adalah tokoh berkarakter menarik dan punya kemampuan silat luar biasa yang berpotensi untuk digarap di komik mengingat porsinya di film tidak banyak.

"Setelah saya tahu di filmnya Cempaka keluar sebentar, sayang kalau tidak diceritakan seberapa jago Cempaka, makanya itu yang saya ambil," ungkapnya.

Mereka berharap kehadiran "Pendekar Tongkat Emas - Lembah Angin" dan Padepokan Ragasukma dapat memicu orang-orang lain yang punya gairah sama untuk menghidupkan komik silat Indonesia.

"Kami ingin membangkitkan komik sastra klasik silat yang hilang," demikian Sweta Kartika.

Oleh Nanien Yuniar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014