London (ANTARA News) - Minyak mentah Brent jatuh ke terendah baru lima tahun di bawah 60 dolar AS per barel pada Selasa, karena melemahnya aktivitas manufaktur Tiongkok memicu kekhawatiran permintaan global, dengan sentimen juga terganggu kelebihan pasokan.

Dalam transaksi pagi di London, harga minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Januari merosot menjadi 59,49 dolar AS, mencapai posisi terendah yang terakhir terlihat pada Juli 2009.

Aktivitas manufaktur Tiongkok memburuk pada Desember dengan indeks pembelian manajer (PMI) HSBC menyentuh tingkat terendah tujuh bulan, bank mengatakan, mgindikasikan pelemahan lebih lanjut di ekonomi terbesar kedua dan konsumen energi utama dunia.

Angka PMI awal untuk bulan ini datang di 49,5, di bawah titik impas yang membagi ekspansi dan kontraksi.

Hasil yang disusun oleh penyedia layanan informasi Markit, lebih rendah daripada angka akhir November 50,0 dan hasil terlemah sejak Mei di 49,4.

Angka Desember juga menandai langkah pertama ke kisaran kontraksi tujuh bulan.

"Data PMI manufaktur Tiongkok menambah ketidakpastian pertumbuhan global," kata Mike van Dulken, kepala riset di Accendo Markets.

"Jika manufaktur Tiongkok tidak tumbuh, itu menunjukkan seluruh dunia tidak mengonsumsi banyak, sehingga Tiongkok perlu mengonsumsi lebih sedikit energi dalam membuat lebih sedikit barang-barang," katanya kepada AFP.

"Karena ekonomi nomor dua, itu banyak energi. Dan banyak barang-barang -- yang menambah kekhawatiran bahwa seluruh dunia sedang mengonsumsi lebih sedikit karena (itu) tidak tumbuh lebih banyak."

Kontrak Brent kemudian berdiri di 59,78 dolar AS, turun 1,28 dolar AS dari tingkat penutupan Senin.

"Data Tiongkok ... menunjukkan bahwa metrik pertumbuhan dan permintaan minyak/komoditas sedang melambat," tambah Atif Latif, kepala perdagangan di The Guardian Stockbrokers di London.

Sementara itu pada Selasa, dolar mencapai rekor baru terhadap rubel karena anjloknya harga minyak dan ketegangan geopolitik mengempaskan ekonomi Rusia.

Bank sentral Rusia pada Selasa pagi menaikkan suku bunga dari 10,5 persen menjadi 17 persen untuk menghentikan kemerosotan rubel, yang telah datang sebagai negara yang terpukul oleh kemerosotan harga minyak dan sanksi Barat atas dukungan Moskow kepada separatis Ukraina.

"Upaya nekat Rusia untuk menopang rubel setelah kemerosotan baru-baru ini menunjukkan pihaknya bisa menjadi khawatir (tentang) situasi lebih buruk lagi," tambah van Dulken dikutip AFP.

(SYS/A026/A011)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014