Kenaikan BBM, TDL, perombakan kabinet, kartu pintar itu tidak bisa menjadi alasan impeachment (pemakzulan), kecuali ada yang dikorupsi,"
Surabaya (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga pakar hukum tata negara (HTN) UII Yogyakarta Prof Dr Mahfud MD menegaskan bahwa kebijakan kenaikan BBM, TDL, kartu pintar, perombakan kabinet, dan kebijakan pemerintah lainnya bukan alasan pemakzulan.

"Kenaikan BBM, TDL, perombakan kabinet, kartu pintar itu tidak bisa menjadi alasan impeachment (pemakzulan), kecuali ada yang dikorupsi," katanya dalam semiloka refleksi akhir tahun dan musda Asosiasi Pengajar HTN dan hukum administrasi negara (HAN) di Surabaya, Selasa.

Mantan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014 itu menjelaskan pemakzulan secara hukum itu hampir tidak mungkin untuk saat ini, karena ada lima alasan untuk pemakzulan yang juga tidak mudah.

"Kelima alasan impeachment yang dibenarkan secara hukum adalah korupsi, suap, pengkhianatan negara, kejahatan besar, dan perbuatan tercela, karena itu jangan takut dengan impeachment," katanya.

Di hadapan 150 dosen HTN/HAN dari PTN/PTS se-Jatim itu, ia mengatakan syarat teknis untuk pemakzulan juga berat yakni disetujui 2/3 anggota DPR, padahal anggota DPR pro-pemerintah (Koalisi Indonesia Hebat) sudah lebih dari 1/3.

Bahkan, kalau dilakukan voting dan lolos pun masih harus dibawa ke MPR dan syaratnya akan semakin sulit, karena MK sudah memutuskan syarat teknis untuk pemakzulan perlu didukung 3/4 anggota MPR.

"Itu pun sulit terpenuhi kalau seluruh anggota parlemen dari KIH tidak hadir. Apalagi, sikap DPR/MPR akan mendapat kontrol langsung dari masyarakat, media, dan LSM," katanya dalam semiloka yang juga menampilkan dua pakar politik, Prof Ramlan Surbakti MA (Unair) dan Prof Satya Arinanto (UI).

Menyikapi kisruh hubungan legislatif-eksekutif itu, ada yang menyalahkan konstitusi (UUD 1945) sebagai penyebab kisruh, karena itu ada yang meminta kembali kepada UUD 1945 dan ada juga yang menghendaki amendemen kelima.

"Tapi, sebagian akademisi menghendaki perbaikan cukup dilakukan pada tataran teknis implementasi di lapangan, seperti sistem kepartaian ditata kembali, karena sistem presidensiil itu tidak kompatibel dengan sistem kepartaian dengan 10 parpol seperti di Indonesia," katanya.

Senada dengan itu, pakar politik Unair Prof Ramlan Surbakti MA, yang juga mantan Wakil Ketua KPU menegaskan bahwa kisruh legislatif-eksekutif itu lebih disebabkan dua kekurangan legislatif yakni representasi dan akuntabel.

"Wajah legislatif atau DPR kita kurang mencerminkan representasi dari miniatur Indonesia, di antaranya DPD sebagai aspirasi daerah dikebiri dengan hak bicara tanpa hak suara, sehingga DPD tidak terlibatkan dalam keputusan," katanya.

Selain itu, representasi perempuan juga belum mencerminkan miniatur perempuan Indonesia, bahkan miniatur kedaerahan juga belum terpresentasikan, di antaranya anggota DPR dari Papua, Sulsel, dan Papua Barat melebihi jumlah persentase penduduk, sedangkan Riau justru kurang dalam mewakili persentase penduduk di DPR.

"Untuk akuntabel juga idem. Sebagai wakil rakyat, anggota DPR belum memenuhi syarat sebagai wakil, karena tidak pernah konsultasi kepada konstituen sebelum memutuskan suatu produk undang-undang, lalu laporan periodik kepada konstituen juga tidak ada, misalnya buletin pun tidak," katanya.

Dalam semiloka refleksi akhir tahun dan musda APHTN/APHAN Jatim itu, para peserta membahas empat isu yakni hubungan legislatif-eksekutif, pemilu, implementasi demokrasi dan perlindungan HAM, dan kajian dua produk hukum yakni UU 6/2014 tentang Pemerintahan Desa dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014