Sadako Sasaki berusia 11 tahun ketika ia sangat yakin bahwa melipat origami berbentuk burung bangau akan membuat keinginannya untuk hidup lebih panjang dapat terkabul.

Ia terus dan terus melipat kertas origami membentuk bangau, ketika menjalani perawatan di rumah sakit, seperti kepercayaan kuno orang Jepang.

Sahabatnya Chizuko Hamamoto ketika itu mengunjunginya dengan membawa kertas origami dan menceritakan legenda bangau, burung suci yang umurnya bisa mencapai ratusan tahun.

Orang Jepang percaya bahwa bila orang sakit melipat seribu origami bangau, doa-doa kesembuhan akan terkabul.

Sejak itu Sadako memanfaatkan waktu luangnya untuk melipat origami bangau memanfaatkan kertas bungkus obat dan kertas apa pun termasuk kartu-kartu ucapan "lekas sembuh" milik pasien-pasien lain yang diberikan kepadanya.

Ia baru menyelesaikan 644 origami ketika terkalahkan oleh leukemia atau kanker darah yang saat itu disebut oleh orang Jepang sebagai penyakit "bom atom".

Penyakit tersebut menimpa banyak warga Hiroshima setelah ledakan senjata nuklir pertama di dunia dan membuat Sadako ketakutan karena banyak orang yang meninggal akibat penyakit tersebut.

Ajal pun menjemputnya pada 25 Oktober 1955 ketika ia masih berusaha selalu tampak riang dan berpegang pada keyakinan bahwa bangau-bangau kertas warna-warni itu dapat memberinya kesehatan dan umur panjang.

Sahabat dan teman sekolahnya menggenapi jumlah origami menjadi seribu dan menyertakannya dalam pemakaman Sadako.

Gadis cilik dari Kota Hiroshima itu baru berusia dua tahun saat bom atom pertama kali dijatuhkan dari atas pesawat tempur Amerika Serikat yang meluluhlantakkan bangunan di wilayah niaga dan merenggut sekitar 140.000 jiwa warga kota pantai itu beserta kehidupan makhluk lain juga tetumbuhan di sekitarnya.

Sadako berada di rumah yang berjarak 1,6 km, seperti banyak warga lainnya tidak secara langsung terkena letusan bom pada Minggu pagi, 6 Agustus 1945 itu.

Ia terimbas radiasi yang menyebabkan berbagai penyakit, antara lain kanker darah.

Dikisahkan bahwa getaran ledakan sempat membuatnya terpental keluar dari jendela rumah, dan ibunya mengira ia meninggal, namun kemudian menemukan gadis balita itu masih hidup.

"Ada ribuan origami bangau hingga saat ini dikirim oleh anak-anak dari berbagai negara dan khususnya murid sekolah di Jepang sendiri, diiringi doa bagi perdamaian dunia," kata seorang relawan yang menjadi pemandu di Taman Perdamaian Hiroshima, akhir November 2014 lalu.

Sebuah monumen berbentuk patung diri Sadako Sasaki menjulang di atas tugu melengkung berkaki tiga, tangannya terbentang bebas menyangga bangau origami, seakan membawanya terbang menuju titik damai.

Serombongan murid sekolah Jepang dipimpin guru perempuan mereka terlihat berdoa dengan khidmat di pelataran monumen, tak menghiraukan hujan rintik-rintik yang seharian itu jatuh ke bumi di penghujung musim gugur yang dingin.

Di depan mereka, selain tugu Sadako juga terdapat panel-panel lipatan origami bangau yang dijajar dengan rapi membentuk lukisan puzzle bergambar burung merpati atau lambang perdamaian, lingkaran dengan tiga garis di dalamnya yang juga melambangkan perdamaian ataupun huruf kanji membentuk kata "heiwa" yang juga berarti perdamaian.

Usai berdoa para murid itu mengelilingi ruang pamer origami bangau, membunyikan lonceng dan berfoto.

Monumen Sadako kini menjadi salah satu bagian dari Taman Perdamaian Hiroshima yang menyuguhkan berbagai sudut kenangan dan penghormatan dan menjadi obyek wisata sejarah utama di Kota Hiroshima.

Donasi origami memang terus mengalir dari anak-anak sedunia seiring doa-doa mereka bagi perdamaian dunia dan gerakan anti-senjata nuklir.

"Saya tak kuasa menahan air mata mendengar kisahnya," kata seorang wartawati Afganistan Khateera Isahaqzai yang sedang berada di kota itu untuk mengikuti konferensi Media se Asia-Pasifik yang membahas mengenai liputan konflik dan bencana, atas undangan Palang Merah Internasional (ICRC), mulai 26 hingga 28 November 2014.

Sebagai penyintas Sadako bersama keluarganya, demikian pula warga Hiroshima yang lain saat itu bergelut dengan penderitaan dan keterbatasan mereka untuk melanjutkan hidup.

Teman-teman sekolahnya sangat berduka atas kepergiannya dan mereka bersepakat membentuk klub origami bangau untuk menghormatinya.

Gerakan mereka menyebar menjangkau murid sekolah dari 3.100 sekolah di Jepang dan sembilan negara lain yang kemudian mengumpulkan donasi untuk membangun monumen peringatan.

Monumen tersebut diresmikan tiga tahun setelah kepergiannya, pada 5 Mei 1958. Sebuah prasasti tertera di monumen itu berbunyi, "Inilah tangisan kami. Ini Doa Kami. Damailah di bumi".

Kisah Sadako menyentuh banyak orang, bahkan bukan hanya di Jepang, patung peringatan dirinya juga diletakkan di Seattle Peace Park.

Oleh Maria D. Andriana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014