Malang (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Basarah mengemukakan mulai Agustus 2015 semua lembaga negara wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya selama satu tahun dalam sidang paripurna DPR-MPR.

"Dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI pada tahun-tahun sebelumnya memang tidak ada pidato pertanggungjawaban dari masing-maisng lembaga negara, yang ada hanya pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden, dan itu diterjemahkan sebagai laporan pertanggungjawaban,"

Namun, mulai tahun depan semua lembaga negara wajib melaporkan kinerjanya dalam bentuk pertanggungjawaban di depan sidang paripurna DPR-MPR, tegas Ahmad Basarah di Malang, Selasa.

Hal itu disampaikan Ahmad Basarah dalam paparannya di hadapan ratusan mahasiswa pada acara Sosialisasi Peran Strategis MPR dalam Sistem Ketatanegaraan di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Ia menilai selama ini laporan pertanggungjawaban kinerja hanya disampaikan oleh presiden dalam sidang paripurna menjelang HUT Kemerdekaan RI, sejaligus pidato kenegaraan, sehingga tidak "fair" kalau lembaga lain tidak melaporkan kinerjanya selama satu tahun.

Oleh karena itu, katanya, untuk mewujudkan itu, tata tertib yang baru, semua lembaga negara, di antaranya MPR dan DPR, BPK, Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Agung (MA) wajib melaporkan kinerjanya dalam bentuk pertanggungjawaban di hadapan sidang paripurna DPR-MPR.

Sedangkan laporan pertanggungjawaban dan pidato kenegaraan Presiden menjadi penutup dari seluruh laporan pertanggungjawaban dari lembaga tinggi negara tersebut. "Budaya ini akan kami mulai pada HUT Kemerdekaan RI tahun depan," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, ke depan pelajaran Pancasila akan menjadi mata pelajaran tersendiri (berdiri sendiri) dan tidak "disub-kontrakkan" pada pelajaran pendidikan Kewarganegaraan seperti yang terjadi saat ini. "Kondisi ini sebagai akibat dari sikap paranoid pihak-pihak tertentu terhadap Pancasila," tegasnya.

Ketua Badan Sosialisasi MPR itu juga menyampaikan MPR periode 2009-2014 juga merekomendasikan tujuh poin yang akan dilanjutkan oleh MPR periode 2014-2019.

Ketujuh rekomendasi itu di antaranya adalah pembentukan sistem ketatanegaraan melalui perubahan UUD 1945, melakukan reformulasi sistem perencanaan nasional dengan model Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta melakukan revitalisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Hanya saja, katanya, untuk amandemen UUD 1945 apakah perlu dilakukan atau tidak masih belum ada kepastian, meski sebagian fraksi mengarah pada upaya amandemen.

"Saya khawatir kalau amandemen dilakukan dalam suasana psikologis dan situasi politik yang seperti sekarang ini, tidak akan mendapatkan manfaat bagi kita semua."

Oleh karena itu, sebaiknya UUD 1945 yang perlu mendapat perbaikan ini dilakukan pada saat kondisi politik sudah kondusif dan tidak ada tegang politik lagi agar hasilnya bisa lebih baik, tandasnya.

Sementara itu Rektor UMM, Prof Dr Muhadjir Effendi mengatakan sosialisasi MPR tersebut menindaklanjuti kerja sama antara UMM dengan MPR-RI yang sudah ada sebelumnya.

"Sebelumnya sudah pernah dilakukan di zaman Ketua MPR, almarhum Taufik Kiemas, dan kerja sama itu sangat strategis, bahkan sejalan dengan motto UMM, yakni Dari Muhammadiyah Untuk Bangsa," tuturnya.

Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014