Jakarta (ANTARA News) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendesak penegak hukum mengusut rekening mencurigakan sejumlah kepala daerah, kata Kepala PPATK Muhammad Yusuf.

"Laporan pemeriksaan ini lebih dalam sesungguhnya. Ini yang kami katakan tidak ada alasan penegak hukum tidak menindaklanjuti, minimal dari sisi pajaknya kalau mereka tidak mau lihat dari crime-nya," ujarnya kepada pers di Gedung PPATK, Jakarta, Selasa.

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh PPATK, menurut dia, ada delapan kepala daerah dan satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) diduga terkait dengan bupati yang memiliki transaksi keuangan mencurigakan senilai lebih dari Rp1 triliun.

"Gubernur itu ada dua orang yang nilainya sekitar Rp200 miliar, tapi kita tidak tahu nilai di balik itu berapa? Lalu, ada enam orang bupati dengan total transaski ada Rp500 miliar. Kemudian, BUMD ada satu yang nilainya mencapai Rp300 miliar," katanya.

Hasil pemeriksaan tersebut, dikemukakannya, semua telah disampaikan kepada penyidik sesuai dengan kewenangan masing-masing.

"Ke Kejaksaan Agung ada dua gubernur dan satu bupati. Ke polisi ada satu yang cukup besar, tapi bukan semata-mata angkanya, tapi profesi kepala daerah itu seharusnya jadi panutan," ungkap Yusuf.

Ia menyatakan, sejumlah modus yang dilakukan oleh para kepala daerah berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh timnya.

"Ada kepala daerah yang punya perusahaan di bidang pertanian, harapannya orang akan melihat dia dari perusahaannya. Tapi, kan tidak mungkin uang masuk setiap waktu selain masa panen?," katanya menjelaskan.

Modus lain, dikatakannya, adalah menutupi uang gratifikasi sebagai pinjaman untuk perusahaan miliknya.

"Terungkap ada setoran-setoran dari perusahan-perusahaan yang pernah beroperasi di daerahnya, ada juga yang mendapat fee dan gratifikasi dari luar negeri, tapi dikemas dalam bentuk loan, pinjaman. Begitu dicek, ternyata perusahaannya tidak ada," ujarnya.

Selanjutnya, ia merinci, cara lain untuk menutupi transaksi mencurigakan dengan mencicil gratifikasi di beberapa bank.

"Kemudian, menerima suap dalam bentuk cash, yang dicicil di bank A sekian, di bank B sekian, lalu ada di rekening istrinya, padahal istrinya ibu rumah tangga," katanya.

Dalam penggunaan BUMD, diungkapkannya, adalah untuk menutupi kepentingan komisarinya, yang juga kepala daerah di provinsi bersangkutan.

"BUMD, dan sebenarnya ada juga perusahaan milik negara, yang masing-masing tidak sama modusnya. Ada BUMD digunakan untuk kepentingan sang komisaris. Kami bisa tahu saat bertanya ke komisaris yang baru," ujarnya.

Selain itu, ia juga mengungkapkan, ada juga kolusi antara perusahaan dengan anggota parlemen untuk mendapatkan pinjaman dari bank.

"Ada juga perusahaan milik negara yang membutuhkan modal, misalnya perusahaan pupuk butuh modal banyak, lalu mengajukan kredit ke bank tertentu. Supaya bank mau, maka melobi ke parlemen supaya mendapak dukungan. Kita tahu karena ada aliran dana ke angota parlemen tadi," demikian M. Yusuf.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014