Jakarta (ANTARA News) - Senja mulai menyapu langit biru yang menggantung di atas Dusun Sui Utik, Kalimantan Barat.

Di kampung yang ditinggali warga suku Dayak Iban itu, senja seolah-olah mengirimkan pesan lain; bersiaplah pada datangnya gelap, seperti hari-hari sebelumnya.

Dalam sekejap, dusun di tengah-tengah hutan hujan tropis seluas 9.452,5 hektar itu berganti kelam.

Gelap menyelimuti Rumah Betang, rumah panjang khas adat Suku Dayak yang berdiri kokoh sepanjang 216 meter itu.

Sejumlah warga mulai memasuki bilik mereka masing-masing untuk menyalakan pelita. Beberapa dari mereka yang cukup beruang, memasang generator hingga sayup-sayup terdengar deru mesin generator yang saling beradu.

Rumah 28 pintu bilik  itu ditempati 299 warga. Gelap sudah menjadi bagian dari mereka. Sejak suku Dayak Iban menempati Sui Utik pada 1913, sampai kini listrik belum menyentuh dusun di Desa Batu Lintang,  Kecamatan Embaloh Hulu, itu.

Meskipun begitu, gelap tidak membuat mati aktivitas penduduk Sui Utik. Beberapa orang tua berkumpul di teras depan dalam keremangan. Ada juga yang memilih bercengkerama dengan keluarga di biliknya, ditemani setitik cahaya pelita.

Sejumlah anak berkeliaraan di ruai (ruang tamu) Rumah Betang, kebanyakan berkumpul di ruai tengah untuk membaca buku.

Seorang kakek membantu menerangi cucunya yang tengah asyik membaca buku dengan lampu surya, pemberian pemerintah beberapa waktu silam.

Merindu terang

Terang menjadi dambaan warga Sui Utik. Terang begitu mereka rindukan. Bukan sekadar karena ingin, namun lebih dari itu zaman membuat mereka sadar bahwa aliran tenaga listrik adalah kebutuhan.

"(Listrik) ini bukan keinginan tetapi kebutuhan," kata Kepala Desa Batu Lintang Raymundus Remang kepada ANTARA News. "Kami tidak minta lebih. Kami meminta karena itu yang dibutuhkan."

Apay Remang telah delapan tahun menjadi Kepala Desa di Batu Lintang. Apay adalah sebutan warga sini untuk "bapak".

Selama delapan tahun itu dia melanjutkan perjuangan warga Sui Utik untuk bisa diterangi listrik.

Mata menerawang, Apay Remang bertutur, ada sebuah dusun empat kilometer dari Dusun Sui Utik, sudah terang benderang. Suaranya lalu menggantung.

"Di Dusun Pulan, misalnya, sudah ada listrik, padahal itu masih satu desa dengan dusun kami. Apa sih bedanya kami? Kadang timbul pertanyaan, apa kesalahan kami? Saya sudah mengajukan proposal yang tidak terhitung jumlahnya selama delapan tahun, sampai habis kesabaran," ujar Remang.

Pada setiap proposal pengadaan listrik yang akan diajukan kepada pemerintah daerah, semua warga Sui Utik selalu membubuhkan tanda tangannya pada proposal itu, meskipun perjalanan proposal-proposal tidak tahu berakhir di mana.

"Jawabannya selalu akan diusahakan atau dananya belum ada," kata Remang pelan.

Tiadanya aliran listrik bukan saja membuat mereka harus mengakrabi gelap saat malam, namun juga mengorbankan sedikit penghasilan mereka dari bercocok tanam di hutan karena mereka harus menutupi ketiadaan listrik dengan solar yang mereka beli Rp13.000 per liter.

Untuk menerangi satu rumah sepanjang malam, dibutuhkan 5-8 liter solar. Dalam kondisi redup pun, mereka tetap harus membeli minyak tanah seharga 17.000 per liter untuk membuat setitik cahaya dari pelita.

"Kami ini hidup dengan penuh segala kekurangan dan keterbatasan," ujar Remang.

Tinggal di Sui Utik memang tidak hanya hidup tanpa akses listrik tetapi juga terasing dari jaringan komunikasi, rumah sakit yang puluhan kilometer untuk ditempuh, sekolah yang hanya sampai tingkat menengah pertama, dan akses transportasi yang sangat terbatas.

Barang atau makanan yang dijual di dusun yang berjarak 102 kilometer dari perbatasan Indonesia-Malaysia itu pun relatif lebih mahal.

"Uang untuk solar habis hanya untuk dibakar saja. Belum untuk uang sekolah, dapur, ongkos ke mana-mana yang serba jauh, untuk kesehatan. Rasanya biaya hidup jauh lebih besar dari orang kota," kata Remang.

Tetua adat Sui Utik yang disebut Tuai Rumah, Apay Bandi alias Janggut, menuturkan selama hidupnya ia pernah merasakan saat penerangan masih dibantu dengan damar, sampai kemudian berganti  dengan minyak tanah.

Tetapi, saat berbicara listrik, ia berubah begitu sedih. Pikirnya, mengapa akses ini tak kunjung menghampiri dusunnya.

Apay Janggut lalu bersender, sambil mengibaskan badannya yang dibiarkan bertelanjang dada dengan kaosnya. Tato bunga terong khas dayak Iban di kedua pundaknya masih terlihat jelas, setajam penglihatan dan ingatannya.

Mengingat itu semua membuat dia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya kepada wakil rakyat yang selama ini mengobral janji sewaktu kampanye dulu. Ia lalu berharap pemerintah peduli pada mereka.

"Setiap ada kampanye kami dijanjikan kesejahteraan dan penerangan, tetapi nyatanya tidak benar, kami dibohongi terus. Kami seperti daging ayam, dijual terus. Bukan kami mau menjelekkan mereka, tetapi kami kecewa," kata Apay Janggut.

"Proposal selalu ditolak karena kekurangan dana tetapi rumah dan mobil mereka mewah-mewah. Sedih benar, rasanya tidak adil. Kami ini luar biasa miskin, semakin kurang dengan kondisi seperti ini. Kenapa sampai sekarang tidak ada listrik. Apa kami ada kesalahan atau apa? Apa kami tidak dianggap manusia, apa kami ini boneka?" tutur Apay Janggut.

Kekecewaan warga Sui Utik bahkan sudah pada tingkat yang membuat mereka enggan lagi berpartisipasi dalam Pilkada, kecuali kondisi hidup mereka berubah.

Secercah terang

Meski merasa dikecewakan para politisi dan hidup serba terbatas, warga Sui Utik tak pernah kehabisan harapan.

Sampai kemudian empat panel surya dari Greenpeace dan ditambah dua panel surya milik desa, ruai di Rumah Betang kini menerangi dukuh mereka.

Tak hanya diterangi, mereka juga dilatih organisasi lingkungan ini bagaimana memasang dan merawat panel surya yang mungkin sebagian telah menjawab mimpi terang mereka. Mereka  bertekad mandiri.

Bukan perkara kebetulan panel surya-panel surya itu dihadirkan di Sui Utik karena dusun ini  adalah tempat tepat untuk memanfaatkan energi terbarukan itu.

Mereka membentuk kelompok sadar wisata untuk menambah pendapatan rumah tangga dan berencana mengemas Eco Wisata dengan berbagai paket yang akan mereka tawarkan kepada tamu. Selama ini, Sui Utik memang kerap didatangi turis.

"Ini memotivasi kami untuk berdikari. Dari uang kami sendiri, mudah-mudahan bisa membangun desa ini," ujar Kades Remang.

Remang mengurai mimpinya bahwa suatu hari nanti terang menyinari setiap bilik di Rumah Betang Sui Utik, anak-anak bisa belajar dengan nyaman, inay-inay (para ibu) bisa terus menganyam atau menenun saat larut malam kalau perlu, sehingga semakin banyak hasil kerajinan yang bisa dijual.

Apay Janggut tak kalah senang. Selama 86 tahun hidupnya, ia  akhirnya bisa menyaksikan ruai di Rumah Betang warisan leluhurnya itu mendapatkan secercah terang ketika malam datang.

"Sekarang baru lampu saja di ruai, tetapi kan banyak alat-alat lain yang butuh listrik. Kalau ada aliran listrik bisa lebih berkembang," kata Apay Janggut.

Dia lalu berpesan, "Harapan saya, karena saya sudah tua sekali, sampai anak cucu jangan merasakan seperti yang saya rasakan ini."

Harapan Apay Janggut adalah asa semua warga Sui Utik yang sudah begitu lama merindukan terang. Mereka tidak butuh gemerlap cahaya berlebihan seperti di kota-kota besar. Mereka hanya butuh terang yang menyinari rumah-rumah mereka. Itu saja.





Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015