Jakarta (ANTARA News) - Kebutaan akibat kerusakan kornea hampir terjadi setiap hari di Indonesia. Namun, ketersediaan donor kornea di Indonesia berada dalam kategori menyedihkan.

"Donor kornea mata di Indonsia sangat menyedihkan. Kita masih tergantung pada donor dari luar negeri. Jumlah pendonor sedikit dibandingkan jumlah populasi, sekitar 25 ribu orang yang terdaftar. Tetapi itu belum bisa digunakan dalam waktu dekat," ujar Ketua Kolegium Ophtalmologi Indonesia (KOI), DR. Dr. Tjahjono D. Gondhowiardjo, SpM, PhD, di Jakarta, Kamis (8/1).

Menurut dia, hal ini karena kurangnya kemauan masyarakat untuk mendonorkan mata atau bagian matanya di kemudian hari.

"Kalau di luar negeri, tidak ada lagi namanya mencatatkan diri sebagai donor (mata), negara membuat undang-undang kalau saat orang meninggal, dia adalah donor, kecuali dia menolak (saat hidup)," kata dia.

Tjahjono mengatakan kerusakan pada kornea membutuhkan penanganan berupa operasi cangkok atau transplantasi kornea. Transplantasi kornea merupakan prosedur bedah yang melibatkan penggantian kornea yang sudah rusak atau tidak berfungsi, dengan kornea baru.

Teknik transplantasi kornea yang umum digunakan adalah Penetrating Keratoplasty (PK) yakni tidakan mengganti seluruh lapisan kornea pasien dengan kornea donor.

Pada teknik ini, risiko penolakan mata pasien terhadap kornea baru cenderung lebih tinggi dan proses penyembuhannya relatif lebih lama. Saat ini, telah dikenal teknik dengan masa pemulihan lebih cepat, yakni Lamellar Kerastoplasy.

Melalui teknik ini, masa pemulihan sekitar tiga hari. Berbeda dengan teknik lama, melalui teknik ini, dokter hanya mengganti bagian kornea yang rusak saja. Sementara, jaringan kornea yang masih sehat tetap dipertahankan, sehingga proses adaptasi mata pasien terhadap kornea baru menjadi lebih mudah dan risiko penolakan pun bisa diminimalisir.

"Proses pemulihan pasca operasi juga lebih cepat dibanding dengan metode konvensional karena hanya membutuhkan sedikit jahitan pada proses transplantasi," ujar Chairman INASCRS, Dr. Setiyo Budi Riyanto, SpM, dalam kesempatan yang sama.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015