Jakarta (ANTARA News) - Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta Utara cukup sibuk. Pelabuhan yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) itu melayani 4,65 juta peti kemas pada 2013.

Di kawasan dengan luas total 604 hektare atau 785 kali lapangan sepak bola berstandar internasional itu barang ekspor maupun impor harus mampir ke sejumlah titik sebelum keluar dari pelabuhan.

Dalam penanganan barang impor misalnya, setelah kapal bersandar di dermaga, barang impor akan dibongkar. Proses bongkar barang ini disebut docking-unloading oleh orang-orang pelabuhan. Dalam proses ini banyak yang terlibat, yaitu Kepabeanan, Imigrasi, kantor Karantina dan tentunya Pelindo II.

Setelah dibongkar, barang akan dibawa ke tempat penimbunan sementara (TPS) yang jumlahnya sekitar 30-an di pelabuhan itu, termasuk di antaranya gudang-gudang dan lapangan penimbunan.

Dalam proses bongkar muat itulah Bea Cukai merupakan otoritas yang menerbitkan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) sebagai syarat mutlak peti kemas dapat keluar dari pelabuhan.

Untuk mendapakan SPPB, importir harus lebih dulu menyelesaikan seluruh kewajiban kepabeanan, contohnya membayar bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 Impor sampai mendapatkan surat Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dari otoritas Kantor Pelayanan Utama Kelas A Bea dan Cukai Tanjung Priok.

Dokumen lain yang harus dilengkapi adalah bill of landing/airway bill, Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), Packing List, Invoice harga barang, Surat Kuasa Pengajuan Pemberitahuan Pabean dan Pelaksanaan Dokumen dan Barang Impor, surat kargo, surat dari badan karantina serta surat rekomendasi dari sejumlah kementerian.

Kementerian yang ikut menerbitkan rekomendasi dalam Tata Niaga Impor/Ekspor adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkunan Hidup, Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Pertahanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan serta instansi teknis lainnya.

Tentu buntalan dokumen itu tidak diurus langsung oleh importir namun melalui custom clearance agent alias Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK). Salah satunya PT Menara Jasa Samudra Dirgantara.

"Kami ini ujung tombak bea cukai karena memvalidasi calon importir apakah mereka sudah punya izin, NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), surat izin, lalu kita input di komputer. Untuk dapat berusaha di bidang ini, perusahaan kami harus harus punya license dari Bea Cukai," kata Direktur PT Menara Jasa Samudra Dirgantara, Zulfahmi.

Zulfahmi, alumni Sekolah Tinggi Administrasi Negara, sudah mulai menggeluti bisnis sebagai PPJK sejak awal tahun 2000-an.

"Tadinya saya juga ada di Bandara Soekarno Hatta, tapi kemudian tutup," kata Zulfahmi pada awal Januari 2015.

Ia mengaku bukan hanya mengurus dokumen yang sudah disiapkan importir, tapi juga bersedia mengurus persyaratan dokumen yang belum dipenuhi importir semisal rekomendasi dari kementerian.

"Kalau ada yang lain yang belum beres, juga bisa kami selesaikan karena kalau barang tertahan lama kan biaya demorage (sewa lokasi penimbunan), dan mengurusnya kadang tidak bisa 1-2 hari tapi bisa seminggu," ungkap dia.

Berapa biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan dokumen tersebut?

Tarif pengurusan per dokumen Rp150 ribu, namun jumlah tersebut juga bisa bervariasi tergantung besaran kontainer, apakah berukuran 20 kaki (pendek) atau 40 kaki (panjang).

Untuk kontainer panjang, ongkos operasionalnya biasanya mencapai Rp1,5 juta sedangkan kontainer pendek adalah Rp1,3 juta.

Nilai tersebut dapat bertambah karena PPJK pun harus mengeluarkan biaya tambahan untuk petugas.

"Misalnya untuk mendapat surat SPPB, di situlah titiknya, meski kami sudah datang ke kantor (Bea Cukai) tapi tidak kelar-kelar, kalau enggak nyelipin," ungkap Zulfahmi.

Uang yang dikeluarkan berkisar Rp50 ribu sampai Rp100 ribu.

"Kemarin sudah ada KPK (Komisi Pemerantasan Korupsi), ada KI (Kepatuhan Internal) tapi sementara belum efektif banget menghapus 100 persen! Kita juga sering dimintai oleh Bea Cukai untuk kemudahan," tambah dia.

Namun Zulfahmi mengakui bahwa pengeluaran uang itu bukan saja diberikan ke oknum pegawai Bea Cukai.

"Misalnya saat milih kontainer. Kontainer kan banyak, mana yang punya kita? Ada di sektor berapa? Itu kita minta tolong itu kata dia mana DL, deal trading-nya? Terus difoto-foto tapi di DL ini harus diselipin duit, kalau enggak ada selipan gimana nyarinya?" ungkap Zulfahmi.

Artinya, menurut Zulfahmi, pergerakan barang di pelabuhan pun masih berprinsip "Wani Piro?"(berani berapa?)

"Jadi wani piro? Jadi kalau kita pusing ya buru-buru kita kasih saja Rp100 ribu, kalau Rp20 ribu atau Rp50 ribu kita kalah," ungkap Zulfahmi.


Banyak institusi terlibat

Kepala Kantor Pelayanan Utama Tipe A Bea Cukai Tanjung Priok, B Wijayanta, membantah ada pungutan dari anak buahnya.

"Banyak juga yang mengatasnamakan petugas Bea Cukai minta kepada importir, padahal pihak Bea Cukai enggak tahu apa-apa, mohon di-crosscheck seperti apa (permintaan uang itu)," kata Wijayanta di kantornya di Tanjung Priok pada 8 Januari lalu.

Kepala Bidang Kepatuhan Internal Kantor Pelayanan Utama Tipe A Bea Cukai Tanjung Priok Dwi Teguh Wibowo dengan tegas menjelaskan bahwa pergerakan kontainer bukan merupakan tugas Tanjung Priok melainkan tugas operator pelabuhan alias PT Pelindo II maupun pihak swasta terkait.

"Untuk pergerakan kontainer menaikkan dan menurunkan diasosiasikan itu tugas Bea Cukai padahal kan bukan. Itu seolah-olah custom padahal bongkar muat untuk untuk buruh, ada beberapa pihak yang terlibat," kata Teguh.

Wijayanta menjelaskan ada begitu banyak institusi yang terlibat dalam proses ekspor impor di pelabuhan, sehingga besaran biaya logistik tidak bisa dilimpahkan hanya kepada institusinya saja.

"Begitu banyak institusi di kepelabuhanan dan masalah barang. Cost of logistic bukan hanya di Bea Cukai tapi delay menghasilkan demorage (biaya tambahan untuk penimbunan barang), jadi bukan semata-mata karena pemberian," ungkapnya.

"Ini yang dicermati secara baik karena mungkin ada keterlambatan, ada jalanan yang masih rusak, ada tarif progresif karena ada pengursan barang dan sebagainya, atau instansi yang belum beroperasi 24 jam, tujuh hari seminggu," tambah dia.

Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Pelayanan Utama Tipe A Bea Cukai Tanjung Priok Susila Brata menyatakan sudah pernah menemukan bukti kasus yang menunjukkan PPJK mencantumkan "biaya bea cukai" untuk seluruh biaya yang dikeluarkan di pelabuhan, padahal biaya dibayar bukan untuk petugas Bea Cukai.

"Ada petugas PPJK yang mengaku membuat biaya handling bea cukai, tapi kemudian saya panggil lalu PPJK itu mengakui bahwa biaya itu untuk apa saja. Ini karena ada importir yang mengadu, tapi itu tidak ada pengaduan, ya tidak ketahuan," ungkap Brata.

Teguh pun menjelaskan bahwa memang masih ada satu dua oknum Bea Cukai yang menerima uang saat pelayanan di pelabuhan, tapi jumlahnya sudah turun signifikan.

"Kami melihatnya jauh sekali dibanding dengan masa lalu, satu dua iya, tapi kalau jadi penilaian keseluruhan itu sangat jauh. Kalau ada hambatan langsung telepon saya dan akan saya lakukan penegakkan," jelas Teguh.

Buktinya, menurut data kantor bea cukai pelabuhan, sepanjang 2013 hanya ada empat orang yang mendapat penalti karena menerima tip, keempatnya petugas di gerbang pelabuhan.

Sementara pada 2014 hanya ada dua orang yaitu satu petugas yang memeriksa barang masuk di jalur merah dan satu petugas di tempat penimbunan pabeanan.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015