Beijing (ANTARA News) - Tiongkok telah menutup 50 laman dan akun media sosial karena berbagai pelanggaran mulai dari pornografi hingga "mempublikasikan berita politik tanpa izin", kata pengawas dunia maya Beijing, Selasa (13/1).

Pemerintah Tiongkok sedang berusaha menumpas penayangan materi yang tidak diinginkan dalam jaringan. Kritikus menyatakan peningkatan pelarangan itu makin membatasi kebebasan berbicara di negara tersebut.

Pihak berwenang menutup 17 halaman publik pada aplikasi pesan mobile Weixin atau lebih dikenal sebagai WeChat dalam Bahasa Inggris serta 24 laman dan sembilan saluran atau kolom pada laman, kata Cyberspace Administration of China (CAC) dalam pernyataan di situsnya (www.cac.gov.cn) seperti dilansir kantor berita Reuters.

Kantor berita Xinhua melaporkan bahwa akun-akun Weixin ditutup selama dua bulan terakhir.

Beberapa pelanggaran lain yang didaftar oleh CAC di antaranya penerbitan informasi palsu dengan kedok pemerintah atau media, dan publikasi informasi yang terkait dengan perjudian atau penipuan.

Menurut juru bicara CAC Jiang Jun lembaganya secara teratur akan menerbitkan "daftar hitam" pelanggar.

Musim gugur lalu, kantor berita Xinhua menyatakan pengawas dunia maya telah menutup hampir 1,8 juta akun di jejaring sosial dan layanan pesan instan sejak meluncurkan kampanye anti-pornografi awal tahun lalu.

Tahun 2014, pemerintah menerima hampir 11 juta laporan yang disebut sebagai informasi daring berbahaya menurut laporan Xinhua pada Selasa.

Pada bulan November, para pejabat Tiongkok menyerukan kontrol di Internet untuk menjaga stabilitas.

Dengan populasi 1,4 miliar dan 632 juta orang online, Tiongkok menjadi pasar yang tidak bisa dilewatkan. Namun negara itu juga memiliki sistem sensor daring yang paling canggih di dunia, yang di luar negeri dikenal sebagai Great Firewall.

Great Firewall memblokir banyak layanan media sosial termasuk Twitter, Facebook, YouTube, Instagram, Snapchat dan Google, serta situs-situs kelompok hak asasi dan beberapa media asing, demikian seperti dilansir kantor berita Reuters.

Penerjemah: Arindra Meodia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015