Kata Abraham Samad, tak satupun tersangka yang masuk dalam proses peradilan Tipikor bebas demi hukum. Semua tersangka itu akhirnya didakwa terbukti bersalah melakukan tindak korupsi yang akhirnya masuk penjara."
Jakarta (ANTARA News) - Kasus demi kasus politik mulai menjadi perangkap alias jebakan bagi Jokowi dalam menjalankan peran politiknya sebagai Presiden.

Kasus pertama adalah pemilihan Jaksa Agung Prasetyo oleh Presiden tanpa melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus kedua, penunjukkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, yang juga tanpa minta pertimbangan lebih dulu pada KPK.

Dua kasus itu mengingkari akal sehat Jokowi yang lugas, terbuka dan menjauhi pengambilan politik demi kepentingan pribadi.

Namun, berpolitik tampaknya tidak selempang berpikir lugas, bersikap terbuka dan bebas dari kepentingan, dalam hal ini, kelompok atau partai politik.

Publik dengan mudah dapat membaca bahwa jika Jokowi berkuasa dalam ruang hampa, dia pasti akan dengan mudahnya meminta KPK, bahkan Komnas Hak Asasi Manusia, untuk memberikan masukan padanya setiap dia hendak memilih pejabat publik.

Tapi kenapa untuk posisi sepenting Jaksa Agung dan Kapolri, Jokowi tak melanjutkan adat yang dia lakukan saat hendak mengangkat menteri-menterinya? Jawab atas pertanyaan itu juga mudah diberikan: karena adu tarik ulur kekuatan internal kekuasaan di lingkaran Jokowilah yang menjadi penghalang Jokowi untuk berlaku lugas, terbuka dan demokratis.

Rupanya para elite parpol di lingkaran Jokowi melupakan komitmen untuk tidak merecoki sang Presiden dalam mengangkat orang-orang yang dipercaya untuk menjadi pejabat publik.

Pada kasus pertama Jokowi lolos dari jebakan politik yang menghadangnya. Kini, di kasus kedua, Jokowi dihadapkan pada situasi sejenis simalakama.

Calon Kapolri yang dia usulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat mendapat persetujuan sementara KPK memberikan predikat tersangka korupsi pada Budi Gunawan.

Presiden Jokowi mulai diuji kepiawaiannya sebagai politisi maupun sebagai negarawan dalam menghadapi dilema terkait Budi Gunawan itu.

Tampaknya, dilema ini bukan sesuatu yang terlampau berat karena solusi untuk mengatasinya begitu beragam dan para pecinta dan pendukung Jokowi sekaligus penjaga demokrasi Indonesia sudah mengeluarkan nasihat-nasihatnya.

Para relawan yang berjasa membawa Jokowi ke kursi kepresidenan juga bersuara. Mereka meminta Jokowi menarik saja penunjukkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Suara kalangan cendekiawan independen yang tak berminat untuk diberi kekuasaan oleh Jokowi juga menyatakan hal serupa.

Ambil saja pernyataan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif yang mengatakan Presiden harus mendengar aspirasi publik yang menolak penunjukan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Jokowi tak perlu memaksakan diri untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Tentu saja, Jokowi tidak dengan mudah menerima dan menuruti nasihat relawan dan cendekiawan. Sebab, yang dihadapi Jokowi secara fisik sehari-hari bukanlah para relawan atau cendekiawan yang tak berkepentingan dengan kekuasaan itu. Jokowi sehari-hari berhadapan dengan politisi yang sarat kepentingan politiknya.

Elite parpol yang menyodorkan Budi Gunawan boleh jadi punya aura politik yang tak mudah dianggap sebagai angin lalu oleh Jokowi. Publik menilai bahwa justru di sinilah ujian alias perangkap politik yang harus dilewati oleh Jokowi.

Jokowi dalam melewati perangkap ini, perlu mendengar nasihat pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti, yang mengatakan bahwa Presiden harus menggunakan suara publik yang telah menyampaikan penolakannya melalui surat terbuka untuknya.

Barangkali yang perlu diperhitungkan oleh elite parpol pengusung Budi Gunawan ke tangan Jokowi adalah konsekwensi politis yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Jadi elite parpol di lingkarang Jokowi perlu realistis bahwa meneruskan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri akan menggerogoti daya dukung publik pada Jokowi.

Tak bisa dibayangkan betapa mubazirnya mengangkat Kapolri yang oleh Ketua KPK Abraham Samad dihampirpastikan akan dilanjutkan untuk diserahkan ke pengadilan Tipikor.

Kata Abraham Samad, tak satupun tersangka yang masuk dalam proses peradilan Tipikor bebas demi hukum. Semua tersangka itu akhirnya didakwa terbukti bersalah melakukan tindak korupsi yang akhirnya masuk penjara.

Namun, jika dipandang dari perspektif bahwa tak ada manusia yang bisa memastikan masa depan, pernyataan Ketua KPK itu melanggar praduga tak bersalah. Samad seola-olah sudah memastikan bahwa Budi Gunawan sudah pasti akan masuk penjara. Kecerobohan pernyataan penegak hukum ini bisa malah memprovokasi politisi yang hendak berspekulasi, ingin mengetahui sejauh mana kebenaran kata-kata Abraham Samad itu.

Polemik soal pernyataan Ketua KPK itu tentu tak perlu menjadi objek pemikiran Jokowi dalam menghadapi jebakan politik terkait Budi Gunawan itu.

Yang perlu dipikirakan betul oleh Presdien adalah memilih jalan paling aman bagi martabat kekuasaan kepresidenan, kematangan demokrasi dan kelangsungan dukungan publik padanya.

Kasus Budi Gunawan ini, tampaknya, merupakan kasus politik biasa yang tak akan menjadi bola salju masalah politik di kemudian hari jika tak ada tekanan terlalu kuat dari lingkaran elite parpol pendukung Jokowi, untuk mati-matian mempertahankan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Ada yang bilang, bahwa inilah saatnya Jokowi keluar dari bayang-bayang Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dengan jalan membatalkan penunjukkan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Jika anggapan publik itu benar, maka kenegarawanan Jokowi akan bermakna pada kebesaran jiwa Mega sebagai tokoh yang paling dihormati Jokowi dalam meniti karier politiknya.

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015