Saya sering meminta guru ke dinas pendidikan tetapi alasannya selalu tidak bisa karena muridnya sedikit...
Jakarta (ANTARA News) – Parasnya yang lembut namun tegas menggambarkan guratan kerja keras. Rambutnya yang didominasi warna putih dibiarkan digulung.

Sekilas, Maryetha Samay tidak berbeda jauh dengan inay-inay (sebutan ibu) yang tinggal di Rumah Betang Sui Utik. Namun, beberapa gantungan foto di rumahnya menunjukkan bahwa Samay, begitu ia biasa dipanggil, bukan perempuan biasa. Salah satu foto memperlihatkan Samay di sebuah kongres perempuan beberapa waktu silam. Dia dikenal sebagai Ibu Guru Samay.

Samay tidak lelah berjuang demi kemajuan pendidikan di Dusun Sui Utik, Kalimantan Barat, sama halnya saat ia jatuh bangun mengejar pendidikan hingga sarjana.

Samay, yang dulu harus merantau sejak SD demi melanjutkan sekolah, kini telah mengabdi sebagai guru di kampung halamannya.

Tidak hanya itu, ia juga memperjuangkan agar sekolah menengah pertama bisa berdiri di Dusun Sui Utik, yang akhirnya terwujud pada tahun 2005.

Guru Sekolah Dasar 4 Sungai Utik itu bisa dibilang merupakan warga Dusun Sui Utik yang pertama kali menempuh pendidikan sampai bangku kuliah.

Samay berkisah, saat masih duduk di sekolah dasar, banyak teman-teman sebayanya yang putus sekolah sampai kelas 3 SD.

"Karena pada waktu itu, sekolah di Sui Utik hanya sampai kelas 3 SD," kata Samay kepada ANTARA News.

Sui Utik terletak di tengah-tengah hutan hujan tropis di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Letaknya yang terpencil dan akses jalan yang saat itu masih buruk, membuat warga semakin terisolasi.

Sampai saat ini, warga yang tinggal di dusun yang hanya berjarak 102 kilometer dari perbatasan Indonesia-Malaysia itu bahkan masih harus hidup tanpa jaringan listrik.

Samay kecil nekat merantau sejak duduk di kelas tiga sekolah dasar, tinggal jauh dari orang tuanya. Saat itu hanya ia dan temannya yang  melanjutkan sekolah di Benua Martinus, ibukota kecamatan Embaloh Hulu.

Mereka tinggal di asrama suster. Di sana terdapat pusat paroki, yang kemudian membawa agama katolik termasuk ke Dusun Sui Utik sejak 1975.

Namun Samay akhirnya harus merantau sendiri karena temannya terpaksa putus sekolah. Samay harus berjalan kaki berjam-jam saat pulang ke rumah ketika masa liburan sekolah. Ia biasanya kembali lagi ke asrama seraya membawa beras untuk bekalnya selama di asrama.

Pada tahun pertama merantau, hidupnya tergoncang dengan kematian sang ayah. Saat berkisah, matanya menerawang mengingat kejadian pada tahun 1973 itu.

"Saat itu saya dijemput agar pulang ke rumah. Saya digendong jalan kaki dari Benua Martinus ke Sui Utik. Ternyata bapak saya sudah sakit keras dan menunggu saya, lalu bapak meninggal," tutur perempuan berusia 51 tahun itu.

Sebelum meninggal, ayahnya memberikan pesan yang akhirnya terus menjadi motivasi Samay untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya.

"Bapak berpesan agar saya jangan sampai berhenti sekolah. Bapak ingin saya terus sekolah supaya menjadi 'orang'," kata Samay.

 

Berjuang sampai sarjana

Pesan terakhir sang ayah terus terngiang-ngiang dalam benak Samay. Setelah lulus dari SMP, Samay ingin melanjutkan ke tingkat SMA namun tidak ada biaya. Lalu ia menuturkan ada seseorang yang mengajaknya bekerja di Pontianak sambil sekolah.

"Orang itu menjanjikan akan membantu separuh biaya sekolah dan memberi saya makan. Tapi ternyata saat sudah di Pontianak tidak sesuai kesepakatan. Saya tetap harus bekerja dan mencari biaya untuk makan dan uang sekolah," kata Samay.

Meskipun ditipu, Samay mengaku tetap tabah demi bisa sekolah. Selain mendapat kiriman uang dari kakaknya yang bekerja di Malaysia, Samay bekerja serabutan di Pontianak mulai dari mencuci pakaian sampai memberi umpan ayam.

"Saya masih bersyukur bisa berusaha sendiri. Saya juga tidak pernah ungkit lagi soal janjinya itu," ujar Samay yang saat itu juga merencanakan lanjut kuliah di Pontianak.

Impian Samay untuk menjejakkan kaki di bangku kuliah di Universitas Tanjung Pura Pontianak tinggal di depan mata. Namun, semuanya itu tiba-tiba buyar saat kakaknya yang memberinya biaya sekolah meninggal dunia.

Uang yang akan dipakai untuk kuliah terpaksa digunakan untuk biaya penguburan kakaknya di Malaysia.

"Waktu itu belum ada akses jalan yang bagus ke sana (Malaysia), sehingga kakak saya harus dikubur di sana. Sampai sekarang, saya bahkan belum pernah menengok kuburannya," tutur Samay.

Samay memang pantang menyerah. Meskipun gagal kuliah, ia tidak larut dalam kesedihan. Ia lantas mencoba Program Khusus Sekolah Guru Olahraga (PKSGO), program untuk guru olahraga selama enam bulan di Pontianak.

"Puji Tuhan saya lulus dan langsung melamar kerja," ujar Samay yang hobi menganyam dan menenun itu.

Setelah itu, Samay memulai kariernya sebagai guru olahraga SD. Sambil mengajar, Samay mengambil program D2. Tidak berhenti sampai di situ, di usianya yang tidak muda lagi, Samay terus mengejar sarjana.

Pada tahun 2009, ia mengambil kuliah di universitas terbuka di Kota Putussibau yang berjarak hampir 100 kilometer dari dusunnya. Setiap hari Sabtu dan Minggu, Samay bolak balik demi kuliah.

Selama kuliah, ia selalu mendapat beasiswa berkat nilainya yang cemerlang. Setelah tiga tahun penuh perjuangan, Samay akhirnya meraih gelar sarjana pada tahun 2012.

 

Terus berjuang

Samay tidak hanya ingin mengejar pendidikan demi dirinya sendiri. Setelah mengajar selama delapan tahun di beberapa desa, Samay mengabdi di dusun kelahirannya.

Saat itu, banyak anak-anak Sui Utik yang hanya menempuh sekolah sampai kelas enam SD karena di dusun tersebut belum ada SMP.

Pada tahun 2004, saat ia menjabat sementara kepala sekolah SD, ia mendaftarkan sekolah Sui Utik dalam program Satu Atap untuk mendirikan SMP. Perjuangannya bukan tanpa halangan. Tidak hanya persaingan dengan desa lain, tetapi sejumlah pertentangan dari masyarakat Sui Utik sendiri yang meragukan usaha Samay.

"Ada beberapa warga yang meragukan bahkan curiga saya bohong. Mereka saat itu berpikir tidak mungkin bisa dibangun SMP di sini. Tetapi saya mencoba sabar, saya tetap berjuang agar Sui Utik layak mendapat program itu," jelas Samay.

Samay tidak hanya harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat Sui Utik tetapi juga menyiapkan sejumlah pengajar sebagai salah satu syarat. Sewaktu orientasi di Pontianak, ia menjadi satu-satunya kepala sekolah yang perempuan di antara kepala sekolah lain.

Akhirnya, perjuangan Samay tidak sia-sia. Pada tahun 2005, SMPN 2 Satu Atap Embaloh Hulu dibangun di Sui Utik dengan jumlah murid pertama sebanyak Sembilan orang.

"Supaya mereka termotivasi terus sekolah harus didirikan sekolah. Kalau enggak begitu, banyak yang putus sampai SD karena tidak ada ongkos," ujarnya.

Lika liku perjuangan Samay demi mengenyam pendidikan dijadikan sebagai motivasi kepada murid-muridnya. Selain itu, ia juga sering mengingatkan orang tua murid bahwa pendidikan itu penting dan mendorong mereka agar menabung untuk pendidikan anak-anaknya.

"Tidak ada yang bisa mengubah kehidupan manusia selain pendidikan, tidak ada yang lain. Saya dulu bisa saat semuanya masih susah, harusnya mereka dengan ada sekolah sekarang bisa lebih baik, demi membangun Sui Utik," harap Samay.

Rumah Samay di Rumah Betang Sui Utik pun terbuka bagi muridnya yang ingin tinggal dan mendapat bimbingan tambahan dari Samay.

"Di rumah banyak anak-anak yang tinggal di sini. Ada yang sekarang sudah SMA. Saya bimbing di sini dan saya pantau nilainya. Mereka tidak harus membawa beras sendiri yang penting bisa terus sekolah," jelas Samay.

"Saya hanya ingin membantu karena ingat dulu pernah susah," kata Samay.

Rumah Samay memang seperti asrama. Sampai saat ini, bekas murid bimbingannya kerap datang ke rumah untuk mengucapkan terimakasih.

Impian Samay belum habis. Lalu apa lagi yang ingin diperjuangkan Samay di Sui Utik? Menurutnya pendidikan di Sui Utik sebenarnya masih memperihatinkan. Selain fasilitas sekolah yang apa adanya, di Sui Utik juga sangat kekurangan guru.

"Saya sering meminta guru ke dinas pendidikan tetapi alasannya selalu tidak bisa karena muridnya sedikit, termasuk untuk guru bahasa Inggris yang belum ada. Akhirnya, kami mengajar dengan gotong royong dan merangkap," jelas Samay.

"Saya juga ingin suatu hari di Sui Utik didirikan SMA," tambahnya.

Perjuangan Samay untuk memajukan Sui Utik memang belum selesai. Selain pendidikan, ia juga berjuang memajukan kerajinan di Sui Utik dan menyuarakan hak mendapatkan jaringan listrik yang belum didapat masyarakat Sui Utik.

Seperti yang selalu Samay tanam dalam dirinya, bahwa tidak ada orang lain yang bisa mengubah hidup kita selain kita sendiri. Dan caranya hanya dengan berusaha.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015