Saya merasa mendapatkan kesempatan kedua untuk melihat dan rasanya itu seharusnya dibagi dengan orang lain, membagi sekaligus menikmati keindahan ciptaan Tuhan."
Jakarta (ANTARA News) - Hari itu mungkin saja menjadi kesempatan terakhir bagi Dr Zubairi Djoerban menggunakan fungsi penglihatannya untuk melihat dunia.

Suatu  Sabtu beberapa tahun lalu, Profesor Zubairi sedang dalam perjalanan menuju tempat praktiknya di Rumah Sakit Kramat, Jakarta.

Guru besar ilmu penyakit dalam itu merasakan ada yang aneh dengan penglihatannya.

"Kok goyang (penglihatannya) ya?, saya langsung meminta supir saya belok ke Jakarta Eye Center," tutur sang profesor.

Sesampainya di pusat kesehatan mata di Jakarta itu, Zubairi diperiksa dan berkonsultasi dengan sejumlah dokter ahli mata.

Para dokter menyatakan tidak ada masalah serius dengan mata Zubairi waktu itu. Dia kemudian diizinkan untuk pulang.

Hari berikutnya, Minggu pagi, ketika sedang duduk di rumah, Zubairi merasakan ada hal yang aneh lagi pada matanya. "Saya tutup satu mata saya, loh kok hitam semua," kata dia.

Ia langsung menghubungi sahabatnya seorang dokter mata untuk segera mendapatkan penanganan. Hari itu juga Zubairi kembali ke Jakarta Eye Center dan dia didiagnosa mengalami ablasio retina, suatu kondisi di mana retina mata lepas dari tempat melekatnya di bola mata.

Hari itu juga Zubairi harus menjalani operasi untuk memperbaiki posisi retina matanya.

Beruntung karena deteksi dini dan langsung mendapatkan penanganan, mata kanan Zubairi bisa diselamatkan.

Untuk membantu memulihkan retina matanya, yang harus dilekatkan lagi ke tempatnya, Zubairi harus menunduk selama tiga pekan pascaoperasi.

"Tidak boleh sombong (kepala mendongak ke atas) kata dokter," canda Zubairi.

Pengalaman yang membuatnya hampir kehilangan penglihatannya itu kemudian menjadi pendorong semangat dokter kelahiran Kauman, Yogyakarta 68 tahun silam itu untuk mensyukuri nikmat dari Sang Maha Kuasa lewat karya-karya fotografi.

"Saya merasa mendapatkan kesempatan kedua untuk melihat dan rasanya itu seharusnya dibagi dengan orang lain, membagi sekaligus menikmati keindahan ciptaan Tuhan," kata anak pertama dari lima bersaudara pasangan Djoerban Wachid dan Buchaeroh itu.

Tak kurang tiga buku fotografi sudah diterbitkan oleh Zubairi, yang baru-baru ini menggelar pameran foto bersama rekan-rekan satu profesi di Lobby RKPD Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Buku Pertama berjudul Mata Lain, dilanjutkan dengan Look Into My Eyes - You Will See the World hingga yang terbaru Sisi Lain.

Dokter yang pernah menjadi Ketua Tim Pemeriksaan Kesehatan Calon Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dan 2014 itu justru pertama kali mendapat ilham untuk mendalami fotografi saat memotret perkembangan cucu pertamanya. Hobi fotografi kemudian menurun kepada tiga anaknya.

Beberapa foto sang cucu pun dipasang menghiasi dinding ruangan kantornya yang sederhana di RSCM ketika pewarta Antara berkunjung beberapa waktu lalu.

"Saya merasa dididik oleh cucu-cucu saya," kata Zubairi yang juga mempunyai spesialisasi pada penyakit lupus dan HIV/AIDS itu.

Ribuan foto, mulai dari landscape, portrait, arsitektur, jalanan hingga makro, telah dihasilkan dari jepretan kamera Zubairi ketika sedang traveling,  atau sekadar  menyempatkan waktu untuk "hunting foto" ketika menghadiri kongres dan tugas di dalam dan luar negeri.

"Kita belajar bahwa bepergian jauh bisa mendapat hasil foto yang bagus, tapi kadang di rumah atau di taman kita bisa menemukan hal-hal kecil yang menurut saya tidak kalah," kata Zubairi.

"Almarhum ayah saya juga senang dengan fotografi sebagai hobi. Dulu masih hitam putih, waktu itu saya hanya melihat saja, tidak pernah mendalami fotografi," kata Zubairi yang juga konsultan hematologi (penyakit darah) dan onkologi medik (pengobatan kanker dari segi medis) itu.

Zubairi lulus dari Fakultas Kedokteran UI pada tahun 1971, kemudian menikah dengan Sri Wahyuningsih lima tahun kemudian.

Setelah menekuni spesialiasi di bidang ilmu penyakit dalam sejak 1974, Zubairi mendapat kesempatan belajar di Institute Cancerologie et dImmunogenetique Hospital Paul Brousse di Villejuif, Prancis pada 1982-1983.

Pria yang juga aktif menulis di rubrik kesehatan itu memandang fotografi adalah bentuk lain dari komunikasi. Dan komunikasi itu penting bagi seorang dokter.

"Kalau tidak kan bisa tidak nyambung jika pasien bertanya kemudian kita jawab dengan bahasa kedokteran yang sulit," kata Zubairi.

Selain menjalin komunikasi lewat foto, pendiri Yayasan Pelita Ilmu, untuk para pendirita HIV/AIDS dan Yayasan Lupus Indonesia itu juga mendapat pelajaran yang sangat berharga dari berbagai tempat yang dia abadikan lewat kamera.

Melalu foto-foto landscape-nya, Zubairi memetakan berbagai budaya yang berbeda di tempat yang dikunjunginya.

Ketika memotret pantai-pantai di Indonesia misalnya, Zubairi terkesan dengan berbagai budaya dan karakteristik yang beragam dari wilayah pesisir Indonesia.

Pantai di Pelabuhan Ratu misalnya, ada tempat menjala impun bagi penduduk lokalnya, berbeda dengan Pantai Parangtritis, Yogyakarta, yang lebih menjadi destinasi wisata.

"Mungkin satu-satunya pantai yang memiliki andong," kata dia. "Sementara pantai di Indonesia kan tak terhitung jumlahnya."

Ketika mengabadikan gedung-gedung pencakar langit di Chicago, Amerika Serikat pun, Zubairi tidak lantas hanya menyoroti keindahan arsitektur dan tata kotanya.

Dalam kunjungannya ke Negeri Paman Sam itu, Zubairi mendapati kenyataan jika ribuan guru di kota tersebut terkena pemutusan hubungan kerja.

"Jangan terpaku pada gedung-gedung yang megah, ternyata di balik itu cukup banyak juga orang yang menderita," kenang Zubairi yang juga doyan memotret ekspresi orang-orang yang ditemuinya.

Sebuah foto kiranya menjadi sebuah medium komunikasi antara fotografer dan penontonnya, menjadi medium nirbahasa, yang tidak perlu penjelasan dengan bahasa yang rumit, melampaui sekat-sekat budaya, agama, politik dan bahkan dimensi waktu sendiri, kata Zubairi yang juga menjadi penasehat bagi Ikatan Dokter Indonesia itu.

Walaupun sudah memasuki usia pensiun, pria yang selalu berusaha untuk hidup sehat, dengan makan buah dan sayur tiga kali sehari, serta olahraga minimal 30 menit setiap harinya itu kini sedang menggarap buku foto keempatnya yang akan diterbitkan dalam waktu dekat ini.

Dalam salah satu buku fotonya, Zubairi menuturkan bahwa kumpulan foto-foto dia hanya sebuah bentuk sederhana dari rasa syukur yang melimpah Rasa syukur atas nikmat penglihatan yang sempat menghilang.

"Maka jika mata adalah cermin jiwa, semoga semua "tangkapan" mata ini mencerminkan kebahagiaan dan rasa syukur atas hal-hal baik yang telah terjadi dalam kehidupan saya tersebut".

Oleh Aditya E.S.W
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015