Bangkok (ANTARA News) - Perdana menteri tersingkir Thailand Yingluck Shinawatra, Kamis, mengecam pemakzulan terhadapnya menjelang pemungutan suara, yang kemungkinan mengarah ke pelarangan baginya berkiprah dalam politik selama lima tahun dan memperburuk perpecahan di negara tersebut.

Yingluck, perempuan pertama perdana menteri Thailand, yang juga saudara perempuan mantan PM Thaksin Shinawatra, digulingkan dari kursi perdana menteri melalui keputusan bermasalah pengadilan tak lama sebelum militer melakukan kudeta pada Mei.

Ia menghadapi pemakzulan oleh Majelis Legislatif Nasional yang dipilih junta pada Jumat, terkait program populis subsidi beras di era pemerintahannya, yang mengalirkan dana segar hingga miliaran dolar ke basis pendukungnya di kawasan pedalaman dan memicu protes yang kemudian membuat pemerintahannya jatuh.

Yingluck tiba di Gedung Parlemen di Bangkok yang dijaga ketat polisi, ditemani sejumlah anggota partainya, demikian seperti dilaporkan AFP.

"Tidak ada posisi bagi saya untuk dilengserkan karena Mahkamah Konstitusional sudah menurunkan saya sebagai perdana menteri," katanya kepada anggota parlemen, dan mengatakan bahwa ia tidak seharusnya dimakzulkan atas pelanggaran konstitusi yang sudah tidak berlaku lagi di bawah pemerintahan junta.

Yingluck juga membela skema subsidi beras itu sebagai upaya membantu golongan miskin di kawasan pedalaman, yang dulu hanya menerima dana pemerintah dalam proporsi kecil.

"Saya tidak korup, saya tidak pernah sembrono," katanya dan mendesak anggota parlemen untuk mempertimbangkan kasusnya dengan penuh keadilan dan "tanpa diarahkan oleh siapapun".

Persetujuan atas pemakzulan perlu mendapat tiga perlima suara dari 220 anggota dewan saat mereka menggelar pertemuan, Jumat.

Vonis bersalah akan membuatnya secara otomatis dilarang aktif dalam politik selama lima tahun dan berisiko menimbulkan kemarahan pendukung keluarganya, kelompok Baju Merah yang melemah sejak kudeta terjadi.

Berbicara sebelum sidang pada Kamis, Ketua kelompok Baju Merah Jatuporn Prompan memperingatkan adanya aksi jalanan setelah ia mencatat tanda-tanda yang diyakininya akan "mengarah pada pemakzulan".

"Mulai besok, kita akan melihat lebih jelas... Jika kita tidak bersabar, Baju Merah akan dituduh bertanggung jawab atas hal-hal buruk," katanya di stasiun televisi Peace TV.

"Segalanya belum berakhir, besok bukanlah akhir. Waktu akan menjawab... Kita harus bersabar," kata Jatuporn.

Para pengamat menilai langkah pemakzulan merupakan upaya terakhir elit kerajaan Thailand dan militer pendukungnya, untuk meniadakan pengaruh politik keluarga Shinawatra yang partainya selalu memenangi pemilu sejak 2001.

Komisi Nasional Anti-Korupsi Thailand (NACC) menjalankan pengusutan atas program subsidi beras, yang membeli beras petani dengan harga dua kali harga pasar namun membuat beras yang tak terjual semakin menggunung.

Pada Kamis, komisioner NACC Vicha Mahakhun menyebut skema tersebut sebagai kebijakan populis untuk memenangi pemilu.

"Anggota NACC bisa melihat dia (Yingluck) bersalah karena gagal menggunakan kekuasaannya sebagai Perdana Menteri untuk menghentikan proyek itu," katanya, yang menilai skema itu menyebabkan "kerugian besar" terhadap ekonomi dan petani beras.

Para penuntut juga tengah dalam proses memutuskan apakah Yingluck harus menghadapi kasus kriminal terpisah terkait skema subsidi beras ini.

Sejak Thaksin berkuasa pada 2001, pemerintahan Shinawatra dilengserkan oleh dua kudeta dan tiga perdana menteri lain disingkirkan oleh pengadilan.

Kebangkitan keluarga Shinawatra bersamaan dengan menurunnya kesehatan raja Thailand Bhumibol Adulyadej (87).

Para pengamat mengatakan gejolak politik dalam beberapa tahun terakhir, ditandai dengan unjuk rasa jalanan dan aksi kekerasan, dipicu oleh persaingan elit atas masa depan kerajaan setelah kekuasaan raja berakhir.

Thaksin yang diturunkan sebagai perdana menteri dalam kudeta pada 2006, dicaci oleh kelompok mapan di Bangkok beserta para pendukungnya di selatan dan sebagian militer serta badan peradilan.

Namun ia masih memiliki pendukung setia di utara dan di kalangan kelas menengah urban dan pekerja.

(Uu.S022)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015