Jakarta (ANTARA News) - Tak seperti jenis narkotika lainnya, LSD (asam lisergat dietilmida) seperti yang dikonsumsi pengemudi "maut" Christopher Daniel Sjarief, tak begitu populer di kalangan pengguna narkoba di Indonesia, karena efeknya tidak enak pada tubuh.

"(LSD) memang tidak sepopuler jenis narkoba lain, pengalaman klinis umumnya mereka yang pernah tinggal di luar negeri. Biasanya mereka dengar tentang efek yang tidak enak di tubuh," ujar Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), dr. Diah Setia Utami, SpKJ,Ma, kepada ANTARA News, Jumat.

Pada tubuh, LSD menyebabkan reaksi beragam. Namun, umumnya pengguna akan merasakan hipotermia, demam, kenaikan kadar gula darah, tegaknya bulu roma, peningkatan curah jantung, rasa tak dapat tidur, membuat panik hingga ketakutan yang luar biasa.

Oleh karena itu, lanjut dr. Diah, mereka yang memakai LSD umumnya didasari motif coba-coba dan umumnya mereka tak tahu soal efek buruk zat ini pada tubuh.

"Menurut pengalaman klinis saya umumnya mau coba-coba dan umumnya mereka tdk tahu efeknya bikin panik dan ketakutan yg amat sangat," kata dia.

LSD  termasuk sebagai golongan halusinogen (membuat khayalan) yang biasanya berbentuk kertas berukuran kotak kecil sebesar setengah perangko dalam banyak warna dan gambar. Bisa juga berbentuk pil atau kapsul.

Reaksi LSD dapat dirasakan tubuh setelah 30-90 menit setelah pemakaian. Saat ini, temperatur tubuh akan lebih tinggi atau lebih rendah dari normal, sementara tekanan darah dan denyut jantung bisa meningkat atau justru menurun.

Di samping itu, akan timbul rasa yang disebut halusinasi tempat, warna dan waktu. Biasanya halusinasi ini digabung menjadi satu hingga timbul obsesi terhadap yang dirasakan dan ingin hanyut di dalamnya. Obesesi ini bisa sangat indah atau bahkan menyeramkan dan lama-kelamaan membuat perasaan khawatir yang berlebihan (paranoid).

LSD awalnya diciptakan pada tahun 1947 untuk mengobati penderita gangguan jiwa. Namun, setelah tahun 1960-an, zat ini tidak lagi digunakan karena dapat menimbulkan reaksi psikis dan gangguan penilaian.

"Pada awal (LSD) disintesa tahun 1940-an memang untuk penderita gangguan jiwa tetapi setelah tahun 1960-an sudah tidak digunakan lagi," kata dr. Diah.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015