Biaya tersebut sangatlah mahal untuk sebuah proses demokrasi di Indonesia.
Jakarta (ANTARA News) - Sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung pertama kali digelar pada Juni 2005, sudah sekitar 1.000 kali diselenggarakan pilkada di berbagai daerah hingga 2013.

Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Djohan, menyebut rata-rata pilkada digelar tiga hari sekali.

"Indonesia bisa memecahkan rekor dunia, efeknya banyak sekali," kata Djohermansyah.


Biaya mahal
, timbulkan perilaku korupsi

Sementara mantan Ketua Panitia Kerja UU Pilkada DPR RI, Abdul Hakam Naja, menyebutkan biaya yang dibutuhkan calon kepala daerah untuk pilkada dianggap sebagai penyebab meningkatnya perilaku korupsi di daerah pascapelaksanaan pilkada.

Biaya tinggi mereka keluarkan, bahkan acapkali didanai dari utang, harus dapat dikembalikan ketika mereka sudah memperoleh jabatan.

Kementerian Dalam Negeri mencatat, selama periode 2004--2012 sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah dijatuhi vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana.

Diduga salah satu penyebabnya adalah praktik politik uang dan mahalnya biaya pencalonan.

UU Pemerintah Daerah memang membuka peluang pelaksanaan pilkada yang berbiaya tinggi. Para kandidat kepala daerah harus mengeluarkan modal besar untuk pencalonan lewat partai politik serta untuk memikat suara rakyat pemilih.

"Ketika menjabat, kepala daerah terpilih terpaksa mengembalikan modal itu, salah satunya dengan cara mencari celah korupsi dalam APBD. Jika dibiarkan, kondisi ini berbahaya besar," tambah Hakam.

Hakam menjelaskan lebih lanjut, APBD yang untuk program kesejahteraan rakyat akhirnya justru dimanfaatkan untuk kepentingan elite kekuasaan lokal. Lebih dari itu, akibat korupsi kepala daerah, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa runtuh.

"Pada akhirnya, keyakinan masyarakat terhadap demokrasi juga terganggu," kata Hakam Naja yang juga politisi PAN.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah melaporkan tingginya biaya pilkada. Biaya Pilkada 2010--2014 mencapai Rp15 triliun.

Ada lima komponen biaya pilkada dilihat dari pengeluaran, yakni KPU, Panitia Pengawas Pemilu, Kepolisian, calon kepala daerah dan tim kampanye.

Khusus untuk biaya KPU dan Panwas, KPU Kabupaten/Kota tahun 2010 menganggarkan sekitar Rp7 miliar sampai Rp 10 miliar, sedangkan KPU Provinsi menganggarkan sekitar Rp50 miliar sampai Rp70 miliar.

Sementara dari sisi Panwas, dana dibutuhkan sekitar Rp3 miliar untuk tingkat kabupaten/kota dan Rp20 miliar untuk tingkat provinsi.

Data dari Dirjen Bina Administrasi Daerah menyebut angka Rp3,54 triliun untuk biaya Pilkada tahun 2010 di 244 daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Jumlah ini hanya memperhitungkan penyelenggaraan untuk satu putaran.

Sebuah angka sangat fantastis dan hampir setara dengan dana APBN untuk Kementerian Sosial tahun 2010.

"Biaya tersebut sangatlah mahal untuk sebuah proses demokrasi di Indonesia," kata Hakam.

Ia menyebutkan angka biaya sebesar itu belum termasuk biaya dikeluarkan oleh peserta pilkada.

Seseorang akan maju untuk mencalonkan diri mau tidak mau harus mempersiapkan diri dengan modal uang tidak sedikit. Ongkos ini dimulai ketika sang kandidat akan mendaftar di parpol akan menjadi kendaraan menjadi calon.

Selanjutnya sang calon akan dibebani biaya kampanye sangat tinggi, mulai dari iklan televisi, spanduk, roadshow ke kantong-kantong suara sampai dengan money politics yang ditutup-tutupi dengan kegiatan sosial seperti pemberian sembako, pengobatan gratis bahkan dalam ukuran lebih tinggi acapkali diberikan dalam bentuk uang langsung kepada calon pemilih.

Di samping itu, sang calon harus membiayai tim sukses dan relawan mencari dukungan suara, juga konsultan politik atau lembaga survei untuk pencitraan sang calon di mata publik," kata Hakam.


Alternatif Solusi

Oleh karena itu pilkada serentak menjadi alternatif solusi untuk menciptakan efisiensi biaya. Anggarannya dialokasikan melalui APBN/APBD dengan berbagai pembatasan terkait standar dana penyelenggaraan, pengawasan plus dana keamanan secara lebih terinci, pembatasan dana kampanye.

Pemerintah merencanakan pilkada secara serentak pada 2015 dan 2018, untuk kemudian melakukan pilkada nasional serentak pada 2020.

Pilkada serentak 2015 merupakan tahap pertama untuk kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2014 dan 2015, sedangkan pilkada serentak 2018 merupakan tahap kedua untuk kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2016--2018.

Sementara pilkada nasional serentak 2020 untuk seluruh kepala daerah di seluruh provinsi dan kabupaten/kota yang berjumlah 541 daerah otonom.

Data yang diperoleh dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan setidaknya terdapat 204 daerah pada tahun ini terdiri atas delapan provinsi, 170 kabupaten, dan 26 kota. Sementara 285 daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota akan menyelenggarakan pilkada pada 2018.

Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan pernah memperkirakan biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp17 triliun.

Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp10 triliun. Lebih hemat dan hanya sekian persen dari APBN.

Seknas Fitra pernah melakukan penelitian di 14 daerah dan menemukan bahwa pembiayaan pilkada melalui APBD memberi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat posisi tawar politiknya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37/2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2015 antara lain berisi ketentuan bahwa biaya pilkada masuk belanja wajib.

Besaran biaya pilkada itu masih perlu pengaturan. KPU daerah dan kepala daerah bisa bersama-sama mengatur berapa jumlahnya. Jika ternyata ada biaya yang belum masuk, tetap ada mekanisme revisi biaya pilkada serentak.

"Ini untuk memastikan anggaran pilkada tercukupi," ujar Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Dodi Riyadmadji.

Permendagri Nomor 37 tahun 2014 itu sejalan dengan Surat edaran KPU RI nomor 1667/KPU/XI/2014 tertanggal 4 November 2014. Dalam surat edaran itu meminta KPU Kabupaten/Kota yang masuk Pilkada serentak tahun 2015 untuk terus melanjutkan koordinasi terkait alokasi anggaran sehingga masuk dalam APBD 2015.

KPU Gorontalo misalnya menganggarkan biaya pilkada serentak di tiga kabupaten di provinsi itu yakni di Kabupaten Gorontalo (berakhir masa jabatan pada 30-08-2015), Bone Bolango (18-09-2015), dan Pohuwato (22-09-2015) sekitar Rp30 miliar

Sementara itu tidak semua usulan anggaran dari KPU daerah disetujui pemerintah daerah setempat, misalnya, yang dihadapi oleh KPU di 10 kabupaten di Sulawesi Selatan.

Ketua KPU Sulawesi Selatan Iqbal Latief menyebutkan KPU Gowa mengajukan Rp18 miliar untuk pilkada serentak di kabupaten itu tahun ini tetapi yang disetujui oleh pemerintah daerah setempat sebesar Rp15 miliar.

Lalu KPU Bulukumba menganggarkan Rp19,4 miliar dan yang disetujui Rp9,8 miliar, KPU Selayar mengajukan Rp17,6 miliar dan yang disetujui Rp9 miliar, KPU Maros mengajukan Rp15,7 miliar dan disetujui Rp10 miliar, KPU Pangkep mengajukan Rp21,2 miliar dan yang disetujui Rp17 miliar, KPU Barru mengajukan Rp18,9 miliar dan yang disetujui Rp12 miliar, KPU Soppeng mengajukan Rp20,8 miliar dan disetujui Rp15,8 miliar, KPU Tana Toraja mengajukan Rp19,5 miliar dan disetujui Rp10 miliar, KPU Luwu Utara mengajukan Rp14,5 miliar dan disetujui Rp8 miliar, dan KPU Luwu Timur mengajukan Rp20 miliar dan yang disetujui oleh pemerintah daerah setempat sebesar Rp18,7 miliar.

Sedangkan anggaran biaya pemilihan kepala daerah serentak di enam kabupaten dan satu kota di Sulawesi Tengah pada 2015 mencapai Rp126,1 miliar dan sudah termasuk pembiayaan hingga kemungkinan putaran kedua, kata Sekretaris KPU Sulawesi Tengah Muhammad Nurbakti.

Anggaran pilkada di tingkat provinsi, kabupaten/kota yang telah disetujui oleh masing-masing pemerintah daerah kemudian akan ditetapkan secara nasional. Bila lebih hemat dan efisien tentu merupakan perkembangan yang baik dalam pembiayaan demokrasi di negeri ini.

(B009)



Oleh Budi Setiawanto
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015