Rasa lelah setelah menyetir beberapa jam dari Kota Ngawi ke Batu, Jawa Timur, via Pare, Kabupaten Kediri, yang berjarak sekitar 176 kilometer terbayar tatkala mobil melintasi jalan raya Kasembon-Ngantang yang berkelok-kelok, Sabtu (24/1) sore.

Keistimewaan di jalur wisata Pare-Pujon-Batu yang berjarak sekitar 66 kilometer itu tidak hanya karena kehadiran pepohonan, tebing, jurang, aliran sungai khas alam pegunungan dengan udaranya yang sejuk maupun keberadaan sejumlah objek wisata seperti Waduk Selorejo di Kecamatan Ngantang.

Keistimewaan di ruas jalan Kasembon-Ngantang yang ramai dengan sepeda motor, mobil pribadi, bus antarkota jurusan Kediri-Malang dan Malang-Jombang serta bus pariwisata itu semakin terasa lengkap dengan kehadiran belasan penjual durian yang menempati pondok-pondok sederhana di kiri dan kanan jalan.

Di antara para penjual durian di pondok-pondok yang umumnya tak berdinding itu adalah Zubaidi. Pria berusia 45 tahun asal Dukuh Selatri, Desa Pait, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, ini membuka lapak dagangannya bersama istrinya, Katiwi (43).

Lapak durian ayah tiga anak itu terletak di sisi kiri jalan yang berjarak dua puluhan kilometer dari Kota Pare atau tiga puluhan kilometer dari Kota Batu. "Ada tiga puluhan pedagang durian seperti saya di ruas jalan antara Kasembon dan Batu," katanya.

Puluhan durian yang digantung dengan tali plastik atau pun yang disusun di meja panjang dan rak kayu di pondok beratap genteng yang telah tampak kusam dan berlumut itu diperoleh Zubaidi dari petani langganannya.

"Durian-durian ini asli dari sini. Saya membelinya dari para petani. Barusan tadi ada yang ngantar enam puluh biji," katanya kepada Antara yang berhenti di pondok duriannya selama sekitar 45 menit dalam perjalanan ke Kota Malang via jalur wisata kota Batu dari Pare, Kediri.

Zubaidi mengatakan dia memulai usahanya secara mandiri sejak menikah tahun 1991. Jauh sebelum itu, dia sudah biasa menemani ibundanya berjualan durian di kawasan yang sama. "Sejak SD kelas III, saya sudah ikut ibu berjualan durian," katanya.

Seperti lazimnya banyak pedagang yang mengalami pasang-surut usaha, Zubaidi pun mengalami hal yang sama. Namun dalam lima tahun terakhir ini, dia berhasil bertahan dan bahkan "berjualan durian sepanjang tahun" tanpa khawatir kehabisan pasokan.

Menurut Katiwi yang setia menemani suaminya berjualan sejak mereka menikah dan dikaruniai tiga orang anak itu, pasokan durian dari daerah Kasembon dan sekitarnya ada dari Januari hingga Mei atau Juni setiap tahun. "Puncak musim durian biasanya sekitar Maret," katanya.

Jika pasokan sedang "seret" akibat tidak sedang musim durian antara Juli dan Desember, Zubaidi memutar otak untuk mendapatkan pasokan guna mempertahankan usahanya sepanjang tahun.

Untuk itu, dia mendatangkan durian dari Jepara, Jawa Tengah, serta beberapa daerah di luar Jawa seperti Bali, Lombok (Nusa Tenggara Barat), Bengkulu dan Lampung, katanya.

"Kalau sekarang ini, durian masih mahal. Per biji ukuran sedang dihargai Rp40 ribu. Tapi, pas puncak musim durian sekitar Maret-April, per bijinya hanya dijual Rp5.000 sampai Rp25.000. Kalau saat ini, yang ada masih buah pertama sehingga harganya masih mahal," katanya.

Untuk meraih kepercayaan pembeli, Zubaidi mengatakan dia menjamin rasa buah durian yang dijualnya. "Kalau tidak manis, boleh diganti dan kalau ada buah yang sedikit rusak, ada kortingan (potongan, red) harga," katanya.

Zubaidi yang mengaku menghidupi istri dan ketiga anaknya dari hasil dagangannya ini mengatakan rezeki sudah ditentukan Tuhan, namun hari libur keagamaan dan nasional seperti Natal dan Tahun Baru lalu merupakan "waktu panen" untuk dia dan para pedagang durian lainnya.

"Kalau sekarang ini, tak banyak yang beli. Yang ramai pas liburan Natal dan Tahun Baru lalu karena banyak orang Jakarta dan Bandung yang melintasi jalan ini dan mampir di tempat saya," katanya.

Tentang rasa durian dagangannya yang dipasok dari daerah Kasembon dan sekitarnya, Zubaidi mengatakan rasanya legit dan tak kalah dengan kelezatan durian dari negeri lain. "Yang paling unggul, ya durian Ngantang dan Kasembon," katanya.



Didukung Hasil Penelitian

Apa yang disampaikan Zubaidi tentang kelezatan buah durian asal Kecamatan Kasembon bukan tanpa dasar. Sejumlah hasil studi Durian Research Center (Pusat Riset Durian/DRC) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FPUB) dan mahasiswa FPUB mendukung pendapat tersebut.

Menurut hasil pengembangan 12 jenis durian di Kecamatan Kasembon dan Ngantang yang dilakukan DRC FPUB, Durian Jingga dengan tekstur daging yang lembut, berwarna kuning bergaris merah/jingga, kandungan kadar gula 20 persen dan tebal daging 1-1,5 cm, misalnya, memiliki rasa yang legit.

Rasa manis sedikit pahit atau legit itu juga terdapat dalam buah Durian Cikrak dan Orri, sedangkan rasa "manis pahit" antara lain terdapat dalam Durian Arab dimana panjang buahnya mencapai 19 cm.

Hasil penelitian mahasiswa FPUB, Ghunthur Sheto Ari Utomo, tentang karakterisasi morfologi klon durian (Durio zibetinus) lokal di wilayah Kecamatan Kasembon yang dilakukan antara Desember 2008 dan Mei 2009 bahkan menunjukkan adanya 10 jenis durian yang memiliki potensi unggul.

Kesepuluh durian tersebut adalah Durian Jingga, Arab, Orri, Sepanjang Musim, Cikrak, Belimbing, Kunir, Bajul, Salak, dan Manalagi, tulis Ghunthur dalam ringkasan hasil penelitian skripsinya yang dipublikasi DRC FPUB dalam laman resmi lembaga itu.

"Keunggulan dari durian tersebut dapat dilihat dari segi produktivitasnya dan kualitas buah. Durian yang unggul dari segi produktivitasnya karena mampu berbuah lebih dari sekali dalam satu tahun adalah Durian Sepanjang Musim, Cikrak dan Arab."

Adapun durian yang unggul dari segi kualitas buah adalah Durian Jingga, Orri, Kunir, Belimbing, Salak, Bajul dan Manalagi, tulis Ghunthur setelah melakukan penelitian selama enam bulan di wilayah sentra durian Jawa Timur yang berada di ketinggian sekitar 500-600 meter di atas permukaan laut itu.

Kecamatan Kasembon dan Kecamatan Ngantang (Kecamatan Bontang) dicatat DRC FPUB yang telah melakukan penelitian durian sejak 2000 itu sebagai "pusat durian terbesar di Kabupaten Malang dan Jawa Timur."

Hanya saja, pusat riset yang telah mengembangkan 12 jenis jenis durian asal Dusun Baraan, Desa Pait, dan Desa Wonoagung, Kecamatan Kasembon, itu mencatat tantangan yang menyertai kehidupan para petani di sentra produksi durian Jawa Timur itu.

Tantangan tersebut terkait dengan kenyataan bahwa perbanyakan tanaman di wilayah kecamatan itu masih menggunakan biji. Akibatnya berbagai jenis durian dengan berbeda bentuk, ukuran, warna kulit, tebal aril atau daging buahnya membuat rasa aril yang variatif.

"Variasi ini juga menyebabkan perbedaan harga durian tersebut, dari yang murah hingga yang mahal. Petani setempat tidak pernah menyadari variasi ini sehingga belum bisa mengambil manfaatnya," tulis DRC FPUB dalam lamannya http://drc.fp.ub.ac.id.

Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan kerja sama kalangan perguruan tinggi seperti yang telah dan terus dilakukan pihak DRC FPUB dengan para petani durian lokal melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan.

Langkah produktif ini tidak hanya akan mengubah nasib para petani dan keluarganya tetapi juga pedagang kecil seperti Zubaidi. Durian asli Indonesia pun pada akhirnya dapat terus berkembang dan secara bertahap namun pasti menjadi raja di negerinya sendiri.

Oleh Rahmad Nasution
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015