Nelayan tradisional ini menangkap lobster dan kepiting ini hanya untuk bisa bertahan hidup sehari-hari
Kupang (ANTARA News) - Keputusan pemerintah melarang penangkapan lobster dan kepiting akan mematikan nelayan tradisional, kata Ketua Ketua Himpinan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur Haji Mustafa.

"Saya baru mendengar bahwa ada peraturan yang melarang penangkapan lobster dan juga kepiting. Kalau benar maka nelayan tradisional akan mati karena sebagian besar nelayan kita hanya menggantungkan hidup dari mencari lobster dan kepiting," katanya, di Kupang, Senin.

Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan Permen Nomor 1 Tahun 2015 tentang larangan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan serta Permen Nomor 2 Tahun 2015 yang melarang penggunaan trawl hela, termasuk sejumlah alat yang selama ini digunakan nelayan tradisional seperti cantrang dan dogol.

Kedua permen itu dikeluarkan untuk mencegah ekploitasi berlebihan di laut yang bisa menyebabkan makin menurunnya tangkapan nelayan.

Latar belakang pikiran yang mendasari terbitnya dua permen itu bisa dipahami, tetapi mesti ada klausul atau  pasal khusus yang diterapkan bagi nelayan-nelayan tradisional. Tidak bisa disamakan dengan nelayan dengan peralatan modern.

"Nelayan tradisional ini menangkap lobster dan kepiting ini hanya untuk bisa bertahan hidup sehari-hari," katanya.

"Kadang ada dan kadang tidak ada hasil sama sekali. Beda dengan perusahan ikan dengan peralatan modern, dimana lobester dan kepiting yang justeru berusaha mendekati peralatan kapal-kapal mereka karena kecanggihan peralatan," katanya.

Dia juga mempertanyakan peralatan yang dimiliki nelayan saat ini untuk menangkap lobster dan kepiting, karena dibeli dengan harga yang sangat mahal.

Peralatan tangkap lobster dan kepiting ini kata dia, adalah peralatan khusus dan tidak bisa digunakan untuk menangkap ikan, katanya.

Dia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kepmen yang sudah dikeluarkan, jika pemerintah benar-benar ingin berpihak pada nelayan.

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015