Jakarta (ANTARA News) - La Nina sangat kuat yang bisa mengguncang pola cuaca global bisa dua kali lebih sering terjadi dibandingkan sebelumnya karena pemanasan global, kata para peneliti dalam hasil studi baru di jurnal daring Nature Climate Change pada 26 Januari 2015.

Para peneliti menganalisis model-model iklim global yang bisa menghasilkan kejadian La Niña. Hasilnya menunjukkan kejadian La Nina ekstrim mungkin akan terjadi setiap 13 tahun, tidak lagi 23 tahun sekali seperti yang mereka ketahui sekarang.

Temuan itu tidak menunjukkan jadwal reguler kejadian La Nina ekstrim setiap 13 tahun, kata penulis utama studi Wenju Cai, ilmuwan iklim dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization di Aspendale, Australia.

"Kami hanya mengatakan bahwa pada rata-rata itu, kita bisa menghadapi satu setiap 13 tahun," kata Cai seperti dilansir laman LiveScience.

"Kita tidak bisa dengan tepat memprediksi ketika itu akan terjadi, tapi kami menduga bahwa pada rata-rata itu, kita akan mendapat lebih banyak."

Para ilmuwan mengatakan temuan baru mereka juga menunjukkan bahwa sejumlah daerah bisa mendapat pukulan dengan cuaca sangat berlawanan dari satu tahun ke tahun berikutnya, misalnya kekeringan dalam satu tahun dan banjir pada tahun selanjutnya.

La Nina, yang dalam Bahasa Spanyol artinya "gadis kecil", melibatkan perairan sangat dingin di sabuk 5.000 mil atau 8.000 kilometer sepanjang ekuator Samudera Pasifik. Kejadian itu merupakan timpalan dari El Niño, yang dalam Bahasa Spanyol artinya "anak lelaki kecil" dan melibatkan perairan sangat hangat di area yang sama.

Nelayan Amerika Selatan menyebutnya El Nino seperti nama bayi Yesus, setelah mengetahui samudera akan menghangat sekitar waktu Natal.

El Nino dan La Nina bisa mengubah angin dan arus air di seluruh Bumi, menyebabkan cuaca ekstrim yang bisa menyebabkan ribuan orang meninggal dunia dan menyebabkan kerusakan bernilai miliaran dolar AS.

"Selama kejadian La Nina tahun 1998-1999, bagian barat daya Amerika Serikat mengalami satu dari kekeringan paling parah dalam sejarah," kata Cai.

Ketika itu banjir dan tanah longsor menewaskan 25.000 sampai 50.000 orang di Venezuela dan di Tiongkok banjir dan badai menewaskan ribuan orang dan menyebabkan 200 juta orang kehilangan tempat tinggal. Sementara di Bangladesh, yang lebih dari 50 persen wilayahnya kebanjiran, kekurangan pangan dan penyakit menular menewaskan ribuan orang dan berdampak pada 30 juta orang lebih.

Selama kejadian La Nina itu, Badai Mitch, salah satu badai paling kuat dan mematikan dalam sejarah, menyebabkan lebih dari 11.000 orang tewas di Honduras dan Nikaragua, kata Cai.

Tahun 2014, Cai dan mitranya memprediksi ketika Bumi memanas akibat meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer, kejadian El Niño ekstrim bisa terjadi setiap sekitar 10 tahun, alih-alih sekitar 20 tahun yang mereka tahu.

Karena El Nino berpasangan dengan La Nina, Cai mengatakan, "orang akan berpikir jika El Niño ekstrim meningkat frekuensinya, mungkin frekuensi La Nina ekstrim bisa meningkat." Tapi mereka menemukan sebaliknya.

Para ilmuwan juga menemukan sekitar 75 persen La Nina ekstrim akan terjadi segera setelah kejadian El Nino ekstrim.

"Implikasinya jelas," kata Cai kepada Live Science.

"Artinya daerah-daerah terdampak akan mengalami kondisi ekstrim berlawanan dari satu tahun ke tahun berikutnya."

Para peneliti mencatat temuan mereka tidak masuk akal karena memprediksi pemanasan global bisa memicu aktivitas perairan dingin seperti kejadian La Nina.

Namun demikian, Cai menjelaskan, daerah Asia Tenggara antara Samudera India dan Pasifik yang dikenal sebagai Benua Maritim, termasuk Indonesia, Filipina dan Papua Nugini, akan lebih cepat menghangat daripada bagian tengah Samudera Pasifik.

Perbedaan suhu ini bisa memicu angin timur luar biasa kuat yang mendorong perairan hangat ke barat dan kutub, yang pada gilirannya membawa air lebih dingin dari dalam samudera mendekati permukaan.

Cai menjelaskan mengapa kejadian La Nina akan terjadi segera setelah El Nino ekstrim: selama kejadian El Nino ekstrim, panas dari lapisan lebih atas perairan samudera dilepaskan ke atmosfer, memicu sirkulasi di atmosfer dan samudera yang akhirnya bisa meningkatkan pendinginan Pasifik.

"Hasil kami menyarankan kebijakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca juga menurunkan risikonya," kata Cai.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015