Adanya pelarangan penggunaan alat tangkap pukat hela dan tarik ini diperkirakan ada sekitar 200 ribu nelayan di Jawa Tengah yang terkena dampak."
Jakarta (ANTARA News) - Kapal dengan jaring "trawl" atau modifikasinya seperti cantrang, dogol dan arad menjadi momok yang mengkhawatirkan bagi nelayan tradisional di sejumlah wilayah perikanan karena menguras potensi ikan.

Akibatnya kerap terjadi aksi menyerangan terhadap kapal itu. Baru-baru ini satu kapal pukat harimau (trawl) milik pengusaha asal Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dibakar nelayan di Pelapis, Kabupaten Ketapang Sabtu (10/1) sekitar pukul 09.00 WIB.

Nelayan setempat kesal karena sebelumnya sudah ada kesepakatan untuk tidak menggunakan jaring "trawl" yang menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan setempat.

"Yang dibakar adalah kapal yang sudah pernah membuat pernyataan di atas materai, yang lain tidak dibakar," kata Kepala Desa Pelapis Rosiharnadi.

Konflik serupa juga terjadi di Bengkulu, karena sebagian besar nelayan meminta agar ada langkah tegas untuk menindak kapal dengan jaring "trawl".

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu kemudian mengumpulkan nelayan pengguna jaring "trawl" dan meminta mereka mengganti dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Ali Simatupang, nelayan Pulau Baai, meminta pemerintah memberikan izin agar nelayan bisa memodifikasi jaring "trawl" karena untuk membeli alat yang baru membutuhkan biaya yang tidak kecil.

Usulan itu langsung ditolak Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu Rinaldi. "Tidak ada modifikasi, selama pakai alat wings dan stick serta mesin penarik jaring maka itu disebut trawl," katanya.

Ia mengatakan, akibat penggunaan "trawl", pendapatan nelayan tradisional di Kota Bengkulu menurun drastis. Sebab, selain merusak terumbu karang, alat tangkap itu juga menangkap seluruh ukuran ikan, sehingga menghambat kelangsungan regenerasi ikan.

Saat ini hanya ada 1.000 orang nelayan yang menggunakan "trawl", tapi dampaknya merugikan 23 ribu orang nelayan lainnya di provinsi tersebut.

Berbeda
Kondisi berbeda terjadi di Pantura Jawa, karena sebagian besar nelayan masih menggunakan modifikasi jaring "trawl" seperti cantrang, dogol, lamparan dan arad. Hanya sebagian kecil saja menggunakan alat tangkap lain.

Di wilayah Indramayu sampai Cirebon, pada tahun 1995-an, operasi pembakaran jaring arad kerap dilakukan, namun kemudian berangsur semakin berkurang.

Saat ini penggunaan jaring cantrang oleh nelayan di Jawa Tengah semakin marak, bahkan angkanya mencapai 80 persen karena dianggap paling efektif untuk menghasilkan tangkapan yang banyak.

Cantrang adalah alat penangkap ikan berbentuk kantong terbuat dari jaring dengan 2 (dua) panel dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring. Bentuk konstruksi cantrang tidak memiliki medan jaring atas, sayap pendek dan tali selambar panjang.

Rata-rata ukuran mata jaring cantrang yang digunakan adalah 1,5 inchi, dimana hal ini tidak sesuai dengan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2011 bahwa ukuran mata jaring cantrang yang diperbolehkan berukuran lebih dari 2 inci.

Kecilnya mesh size inilah dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian ikan karena ikut menjaring ikan muda yang masih berpotensi untuk tumbuh dan bertelur.

Pelarangan cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Permen KP nomor 2/2015, kemudian disambut demo besar-besaran nelayan di Pantura jawa khususnya di Jawa Tengah.

Sebenarnya, Pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 39/1980 telah melarang jaring trawl karena bisa membahayakan ekosistem laut, dan kembali ditegaskan melalui Undang-Undang Nomor 45 tahun 2010 tentang Perikanan

Sejumlah nelayan kemudian memodifikasi "trawl" menjadi cantrang, dogol dan lamparan karena hanya alat tangkap itulah yang paling efektif untuk menangkap ikan di perairan Laut Jawa.

Ketua Paguyuban Nelayan Batang Bersatu (PNBB) Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Siswanto, berharap pemerintah membatalkan larangan penggunaan pukat hela dan cantrang.

"Sebagian sebagian besar nelayan di Pantura Jawa menggunakan kapal cantrang. Dampaknya pasti nelayan akan menganggur termasuk mereka yang bergelut dengan perikanan tangkap seperti karyawan TPI dan pabrik pengolahan ikan. Di sini saja ribuan jumlahnya ," katanya.

Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) H Eko Susanto mengatakan, pelarangan cantrang sama saja dengan mematikan mata pencaharian nelayan.

"Kalau nelayan tidak melaut lagi, mereka mau dikemanakan? Mereka tidak punya keterampilan lain selain mencari ikan di laut. Modal tidak ada, apalagi skill. Belum lagi yang terkena imbasnya para bakul yang jelas tidak akan mendapatkan ikan dari nelayan," katanya.

Menurut dia, cantrang adalah alat kerakyatan karena paling efektif untuk nelayan dengan modal kecil, bahkan dengan sistem cantrang, muncul usaha filet.

Dengan jaring itu maka ikan-kan dasar (bottom fish) ataupun demersal fish dapat dengan mudah ditangkap, termasuk juga jenis-jenis udang (shrimp trawl, double ring shrimp trawl) dan juga jenis-jenis kerang.

Komposisi tangkapan cantrang antara lain ikan patek, kuniran, pe, manyung, utik, ngangas, bawal, tigawaja, gulamah, kerong-kerong, patik, sumbal, layur, remang, kembung, cumi, kepiting, rajungan, cucut dan lain sebagainya.

Hasil tangkapan inilah yang menghidupi tempat pelelangan ikan dan sejumlah pedagang di pasar ikan yang tersebar di Pulau Jawa.

Selain itu menurut nelayan, luas area sapuan cantrang terbatas dan tingkat pengadukan dan penggarukan dasar perairan relatif kecil.

Jaring cantrang tidak mempunyai kemampuan untuk bergerak saat menyangkut benda-benda dasar berukuran besar, seperti batuan karang sehingga tidak mengganggu ekosistem dasar yang biasanya merupakan tempat pemijahan ikan.

Dibanding "trawl", cantrang mempunyai bentuk yang lebih sederhana dan pada waktu penankapannya hanya menggunakan perahu motor ukuran kecil. Ditinjau dari keaktifan alat yang hampir sama dengan trawl maka cantrang adalah alat tangkap yang lebih memungkinkan untuk menggantikan "trawl" sebagai sarana untuk memanfaatkan sumber daya perikanan demersal.



Evaluasi

Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono mengimbau Presiden Joko Widodo mengevaluasi kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan termasuk soal pelarangan alat tangkap cantrang karena akan memunculkan masalah seperti pengangguran.

Politisi PDI Perjuangan ini menambahkan, kapal dengan alat tangkap pukat hela dan tarik yang banyak terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Lampung, dengan adanya moratorium ini juga tidak dapat beroperasi.

"Adanya pelarangan penggunaan alat tangkap pukat hela dan tarik ini diperkirakan ada sekitar 200 ribu nelayan di Jawa Tengah yang terkena dampak," katanya.

Jika banyak kapal tidak dapat beroperasi maka hasil tangkapan ikan juga akan menurun dan berdampak pada sektor pengolahan ikan, karena kekurangan bahan baku.

Mesti mendapat demonstrasi dari nelayan dan kritikan pedagang ikan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bertekad tetap mempertahankan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkannya.

"Mari kita terus kampanyekan kebijakan kelestarian yang berkelanjutan," kata Susi dalam Refleksi 100 Hari di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Jakarta.

Oleh Budi Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015