Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta pemerintah serius menggarap sektor ekonomi yang lebih memihak kepada rakyat sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas demokrasi di Tanah Air.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj saat berpidato dalam Harlah NU Ke-89 di Jakarta, Sabtu (31/1) malam, mengatakan Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ketiga yang berhasil melaksanakan politik demokrasi terbesar ketiga, setelah India dan Amerika Serikat.

"Hanya saja yang menjadi catatan penting bagi NU adalah, bisakah kita melaksanakan politik demokrasi dengan baik jika tanpa diiringi secara substansial dengan pembangunan ekonomi yang lebih memihak pada umat," kata Said Aqil.

"Politik demokrasi yang berjalan di lapangan masih berkutat pada istilah NPWP, nomer piro wani piro (nomor berapa berani berapa)," kata Said Aqil di depan para tamu undangan, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, Mensos Khofifah Indar Parawansa, Menaker Hanif Dhakiri, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, dan Menristek Dikti M Nasir.

"Ini maknanya ada gejala yang kuat di masyarakat bahwa politik demokrasi untuk memilih wakil rakyat, bupati, wali kota, atau gubernur bisa dikonversi dengan uang," tambahnya.

Hal itu, menurut Said Aqil, disebabkan demokrasi masih berjalan beriringan dengan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

"Mengutip data Badan Pusat Statistik terakhir, rasanya dada ini terasa sesak. Betapa tidak, distribusi kesejahteraan nasional jika diukur dari indeks ketimpangan, gini ratio, terus naik dari tahun ke tahun," katanya.

Said Aqil menegaskan bahwa PBNU siap bekerja sama dengan pemerintah dan membantu setiap kebijakan yang mengarah untuk mengatasi kesenjangan ekonomi.

"Kebijakan apa saja yang akan diambil oleh pemerintah selagi mengarah pada kebijakan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi akan didukung PBNU tanpa reserve," kata Said Aqil.

Pewarta: Sigit pinardi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015