Cotabato, Filipina (ANTARA News) - Pertumpahan darah di bagian selatan Filipina telah membuat investor enggan menanamkan modalnya di negara tersebut, kata presiden kelompok bisnis Bangsamoro Business Club, Mohamad Omar Pasigan, kepada AFP pada Senin.

Menurut keterangan Pasigan, ada setidaknya tiga perusahaan asing yang menunda kerja sama investasi dengan mitra lokal setelah munculnya pertempuran antara pasukan militer Filipina dengan pejuang Muslim.

Sebelumnya operasi anti-teror pada 25 Januari lalu berakhir dengan kegagalan. Sebanyak 44 anggota kepolisian dan 11 gerilyawan tewas dalam pertempuran itu.

"Keamanan adalah hal yang paling utama bagi para pengusaha untuk menghasilkan keuntungan. Mereka tahu kapan saatnya mengambil resiko dan kapan saatnya menarik diri," kata Pasigan.

"Mereka sebenarnya berniat untuk datang ke sini dan menginvestasikan modalnya, namun kemudian muncullah pertempuran itu," tutur Pasigan.

Investasi yang tertunda karena pertempuran itu--yang rencananya akan ditanam di sektor perumahan dan pertanian--diperkirakan bernilai "milyaran" peso atau sekitar sepertiga trilyun rupiah.

Sekelompok pengusaha asal Malaysia membatalkan rencana kunjungan ke kota Cotabato pada Senin ini, terang Pasigan. Mereka berencana membangun sejumlah hotel kecil dan pusat pertokoan.

Selain itu, kelompok pengusaha Yordania yang berencana membangun lahan pertanian pisang seluas 50 hektar tiba-tiba pulang ke negaranya tanpa sempat menyelesaikan urusan. Demikian pula dengan pengusaha asal Singapura dan Malaysia yang ingin meniru pusat perbelanjaan di Johor Baru.

Pasigan menolak menjelaskan siapa pengusaha-pengusaha tersebut dengan alasan belum selesainya kesepakatan akhir. Dia hanya mengatakan bahwa Bangsamoro Business Club adalah kelompok yang mencarikan investor asing itu mitra lokal.

Mitra lokal itu dibutuhkan karena hukum di Filipina melarang kepemilikan mayoritas atas badan usaha oleh warga negara asing.

Sementara itu pertempuran yang terjadi pada 25 Januari merupakan insiden yang memecah kesepakatan genjatan senjata yang ditandatangani pada Maret 2013 lalu.

Menteri urusan perencanaan ekonomi Arsenio Baliscan mengakui bahwa pemerintah harus dengan cepat memulihkan keamanan.

"Persepsi resiko adalah hal buruk bagi bisnis," kata dia.

Baliscan mengatakan bahwa daerah selatan--yang kini hancur karena konflik selama beberapa dekade--mempunyai potensi untuk menjadi pemicu pertumbunuhan ekonomi karena kesuburan tanah dan kandungan mineralnya.

"Ini akan menjadi kesempatan yang hilang jika negara tidak dengan segera menyelesaikan problem yang ada," terang Baliscan.
(G005/M007)

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015